Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Taipan Sjamsul Nursalim telah menyetor Rp 367,72 miliar kepada Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Bank Likuiditas Bank Indonesia pada 14 Juni lalu. Pembayaran kedua tersebut merupakan pelunasan utang Sjamsul sejumlah Rp 517,7 miliar selaku pemegang saham Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas obligor eks PT Dewa Rutji. Pembayaran pertama sejumlah Rp 150 miliar pada November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imbas dari pelunasan utang Bank Dewa Rutji, Kementerian Keuangan disebut mengusulkan pelepasan/pencabutan daftar pencarian orang (DPO) terhadap Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim. Padahal Sjamsul masih punya kewajiban pembayaran utang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ke negara sejumlah Rp 4,8 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail, mengatakan juga menerima informasi ihwal permintaan dari Kementerian Keuangan tersebut. “Pihak KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) yang meminta pencabutan pada 16 Juni kemarin,” kata Maqdir saat dikonfirmasi pada Jumat malam, 17 Juni lalu. Menurut dia, pihak Sjamsul maupun Itjih tak pernah mengajukan permohonan pelepasan DPO.
Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban tak merespons konfirmasi ihwal permintaan Kementerian Keuangan untuk melepas status DPO Sjamsul dan Itjih. Rionald sebelumnya mengatakan Sjamsul merupakan debitur yang membayar penuh kewajibannya atas satu perusahaan. “Ini bukan Bank Dagang (BDNI) ya, Bank Dewa Rutji itu sudah lunas, kalau BDNI menurut kami itu masih ada yang harus ditagihkan," kata Rionald di Kompleks Parlemen, Kamis, 16 Juni lalu.
Sebelumnya, KPK menetapkan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka kasus korupsi BLBI yang merugikan negara sekitar Rp 4,8 triliun pada Juni 2019. Saat itu pula, KPK memasukkan Sjamsul dan Itjih ke dalam DPO karena dua kali mangkir dari pemeriksaan dan posisinya di luar negeri. Surat pemanggilan tersangka itu telah dikirimkan ke lima alamat yang berbeda di Indonesia dan Singapura. Selain itu, KPK juga meminta bantuan KBRI Singapura dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura dalam upaya pemanggilan Sjamsul dan istrinya.
Pada April 2021, KPK menggunakan kewenangannya untuk menghentikan penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih. Ini merupakan pertama kalinya KPK menghentikan perkara setelah diberi kewenangan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang tertuang pada UU KPK hasil revisi.
Penerbitan SP3 juga menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi terdakwa Sjafruddin Arsyad Temenggung. Majelis hakim menilai tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan Surat Keterangan Lunas BLBI untuk BDNI. Namun sebelum putusan ini, anggota majelis kasasi, Syamsul Rakan Chaniago bertemu dengan salah satu pengacara Syafruddin, Ahmad Yani.
Putusan kasasi MA tersebut tidak menghapus adanya kerugian negara. Sesuai mandat Pasal 32 UU Tipikor, penyidik KPK seharusnya menagih Sjamsul Nursalim dengan cara menyerahkan ke Jamdatun agar diproses secara perdata. Atau kewajiban ini ditagih langsung oleh Kementerian Keuangan/Satgas BLBI.
LINDA TRIANITA
Baca: Mekanisme Rencana Pembayaran Utang Garuda Indonesia
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini