Di sebuah siang, denting piano itu menyentuh telinga Cinta. Tetapi hanya dia sendiri yang mendengarnya, sementara keempat kawannya menganggap dia tengah bermimpi, atau, "Lu mesti ke psikolog," kata Alya. Cinta penasaran mengejar bunyi denting piano itu; bunyi masa lalu yang mengingatkan pada genggaman Rangga, kekasihnya.
Sinetron Ada Apa dengan Cinta produksi SinemArt itu kini menampilkan kisah Cinta dan kawan-kawannya sebagai "lanjutan" kisah Ada Apa dengan Cinta versi bioskop. Seorang pria lain bernama Taura muncul dalam kehidupan Cinta, sementara Rangga masih di AS. Kira-kira apa reaksi Rangga ketika pulang nanti?
Para penonton fanatik film bioskop Ada Apa dengan Cinta tentu menemukan sosok Cinta yang berbeda. Seluruh pemeran tentu saja berubah, mereka tak akan bertemu dengan Dian Sastro dan Nicholas Saputra, yang menjadi "the couple of the year" yang legendaris dan bikin remaja menjerit. Mereka akan menemukan Cinta berkarakter sedikit judes terhadap adik-adik kelasnya yang ingin bergabung dengan Mading. Mereka juga akan menemukan sosok Alya yang lebih tegas dibanding Alya yang mendayu di versi bioskop. Mereka juga akan agak risi melihat sosok..., yang digambarkan agak kemayu—stereotip sosok yang sering menjadi bulan-bulanan.
Apa boleh buat. Membuat sebuah serial televisi dari film layar lebar yang begitu meledak dan nyaris legendaris sebagai tren baru tentu akan punya risiko perbandingan. Dan ini tentu sudah diperhitungkan, baik oleh Mira Lesmana—sebagai produser Miles yang memproduksi film layar lebar Ada Apa dengan Cinta—maupun oleh Leo Sutanto sebagai produser Ada Apa dengan Cinta versi televisi. Leo mengakui, jauh sebelum serial ini menayang, banyak yang mencibir kemauannya meng- angkat film tersebut ke layar kaca. Intinya, tak sedikit yang menganggap remeh serial yang bakal didanai Rp 30 miliar untuk 104 episode itu. Toh, seperti halnya Leo, yang sempat dag-dig-dug, mengangkat cerita dari kisah lawas bukanlah persoalan mudah. Banyak yang gagal, tidak saja dari kualitas, tapi juga "belangsak" dari segi rating. Dan Leo Sutanto termasuk yang beruntung. "Menggembirakan. Kami masuk peringkat nomor dua di 10 besar sinetron yang memiliki rating tertinggi," tuturnya bangga. Serial baru itu langsung menyabet peringkat yang dibuat AC Nielsen, 14,4, dengan audience share mencapai 37 persen.
Mengangkat cerita dari film layar lebar memang tengah menjadi tren di televisi. Di antaranya, para penonton televisi sudah pernah menyaksikan Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Badai Pasti Berlalu, dan Bernafas dalam Lumpur. Dari sisi mutu, seluruh sinetrom televisi ini jauh dibanding film versi layar lebar.
Keuntungan Leo Sutanto dan timnya, film layar lebar Ada Apa dengan Cinta memang meninggalkan sebuah akhir yang terbuka sehingga banyak penonton yang mengharapkan sebuah sekuel. Mira sendiri mengaku banyak orang mendesaknya supaya membuat sekuel. Tetapi, seperti halnya dengan film Sherina yang diproduksinya, Mira cenderung tak ingin memanfaatkan kesuksesan itu dan lebih suka menggali ide baru.
Tak aneh, dengan memberi izin kepada tim Leo Sutanto—lengkap dengan izin penggunaan ilustrasi musik yang sama dan poster yang senada—penonton televisi mengharapkan sebuah "sekuel" ala televisi, meski akhirnya mereka tak bisa menjerit-jerit karena tak ada Nicholas Saputra ataupun Dian Sastro.
Keadaan ini tentu saja tidak dimiliki serial lain yang mengangkat cerita dari film layar lebar lainnya. Itu terjadi, umumnya, karena film-film yang diangkat ke layar televisi itu memiliki cerita yang sudah selesai. Alhasil, yang terjadi kemudian, para pembuat serial sinetron itu melakukan akrobat dalam pengembangan karakternya. Simak saja apa yang dilakukan Ahmad Yusuf, 42 tahun, sutradara serial Cintaku di Rumah Susun, yang tayang di Indosiar.
Setelah mendapat izin dari keluarga Nyak Abbas Akub, sutradara sekaligus penulis skenario film itu, pihak Multivison Plus menunjuk Yusuf menggarap serial ini. Salah satu pertimbangannya, Yusuf pernah ikut terlibat dalam penggarapan film yang dibuat pada tahun 1987 itu sebagai asisten sutradara. "Saat dikasih proyek ini, saya cuma punya judul, daftar pemain, dan kontrak 52 episode," ujar Yusuf.
Dengan perubahan zaman, Yusuf pun melakukan adaptasi. Katanya, dulu rumah susun banyak dihuni orang-orang korban gusuran, tapi kini banyak orang dari kelas menengah yang menjadi penghuni di sana. Akibatnya, ia melakukan perubahan karakter para tokoh dalam filmnya. Somad, misalnya.
Tokoh yang dulu diperankan Deddy Mizwar itu kini menjadi laki-laki yang kemayu. Padahal dulu karakter Somad tidak seperti itu. Tapi Yusuf punya dalih, "Karena kala itu bencong masih menutup diri, berbeda dengan sekarang," tuturnya. Begitu pula dengan Badrun, yang dulu diperankan pelawak Doyok.
Berhasilkah upaya itu? Bila dari segi rating yang jadi acuan, tentu saja serial ini tergolong sukses. Sinetron yang sudah memasuki episode ke-26 ini masih wara-wiri dalam daftar sepuluh sinetron yang paling digemari. "Peringkatnya turun-naik antara enam dan delapan," ujar pria asal Aceh ini.
Namun, dari sisi lainnya, tayangan ini mengaburkan roh filmnya, yang sarat dengan kritik sosial. Serial ini lebih menitikberatkan pada sisi komedi yang memancing humor instan tanpa kedalaman.
Persoalan melenceng ini juga terjadi dalam serial Cintaku di Kampus Biru, yang diangkat dari film sejudul. Dalam serial ini terjadi erosi roh cerita. Anton, yang dalam kisah di filmnya tampil sebagai mahasiswa yang peduli pada keadaan masyarakat, tiba-tiba menjelma menjadi sosok cowok keren yang banyak digilai kaum gadis.
Lebih menggelikan lagi, sosok Sonny yang diperankan Roger Danuarta dalam serial Yang Muda, yang Bercinta jadi kelihatan seperti anak bloon yang kemayu. Padahal, dalam filmnya, Sonny yang diperankan W.S. Rendra adalah sosok mahasiswa yang kerap menyemprot kebobrokan bangsa ini lewat puisi-puisi yang cerdas dan berisi.
Nah, kenapa bisa begitu? Arswendo Atmowiloto, pengamat televisi yang belakangan juga ikut nimbrung memproduksi pelbagai acara di televisi, menilai fenomena menjamurnya serial televisi yang diangkat dari film layar lebar semata karena pertimbangan bisnis. Alhasil, tak aneh bila kemudian banyak sinetron yang berangkat dari cerita film menjadi kedodoran.
Tapi, menurut Wendo, mengangkat cerita dari layar lebar sebenarnya merupakan hal yang lumrah. Tren itu, menurut Arswendo, terjadi di AS pada akhir 1970-an. Tentu tak semuanya berhasil. Satu di antaranya yang berhasil adalah serial Fame, film yang berkisah tentang mahasiswa yang tengah mempelajari performance art, arahan Alan Parker, yang semula berbentuk layar lebar dan kemudian diangkat ke layar televisi.
Namun, berbeda dengan film versi bioskop, hampir semua pemainnya merupakan aktor dan aktris baru. Tapi, di luar dugaan, serial itu sempat menjadi perbincangan pada dekade 1980. Belakangan, judul film ini dipakai untuk acara reality show mencari bakat di stasiun NBC.
Arswendo menilai, dengan keadaan masyarakat penonton di sini, setidaknya tren seperti ini bisa bertahan hingga lima tahun. Alasannya, biasa saja sajian yang diberikan itu akan meninggalkan kejemuan bagi penonton. Setelah itu, tren pun akan berganti. "Cuma, celakanya, kalau masyarakat malah terus menyukainya," ujarnya sambil tergelak.
Celaka, memang. Bila keadaan seperti ini tak jua berubah, boleh jadi tontonan televisi di negeri ini bisa-bisa mandek. Padahal, ide itu seperti udara. Ada di mana-mana dan Anda tinggal memetiknya dengan gratis.
Irfan Budiman, Telni Rusmitantri, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini