Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sriwijaya Air Berutang Rp 744 Miliar ke Anak Usaha Garuda

Sriwijaya Air masih berutang sekitar Rp 744 miliar ke anak usaha Garuda Indonesia.

27 September 2019 | 09.32 WIB

Maskapai di Indonesia yang juga menggunakan pesawat Boeing 737 Max 8 yakni Sriwijaya Air. Di seluruh dunia dilaporkan terdapat 350 unit Boeing 737 MAX 8. Saat ini, selain negara juga ada maskapai yang memutuskan untuk melarang pesawat tersebut terbang. Dok.TEMPO/Fahmi Ali
Perbesar
Maskapai di Indonesia yang juga menggunakan pesawat Boeing 737 Max 8 yakni Sriwijaya Air. Di seluruh dunia dilaporkan terdapat 350 unit Boeing 737 MAX 8. Saat ini, selain negara juga ada maskapai yang memutuskan untuk melarang pesawat tersebut terbang. Dok.TEMPO/Fahmi Ali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - PT Sriwijaya Air Group tercatat masih memiliki utang usaha kepada PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk. senilai US$ 52,51 juta atau setara Rp 744 miliar per 30 Juni 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Direktur Keuangan Garuda Maintenance Facility AeroAsia Edward Okky mengatakan jumlah tersebut merujuk pada laporan keuangan perseroan semester I/2019 yang telah disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Namun, dia masih enggan untuk memberikan detail masa jatuh tempo penagihan utang kepada Sriwijaya. “Saya tidak bisa disclose, ada aturan kerahasiaan informasi,” ujarnya, Kamis, 26 September 2019.

Senada, Corporate Secretary Garuda Maintenance Facility AeroAsia Maryati enggan untuk menanggapi kabar tentang surat penagihan dan penolakan permohonan penundaan pembayaran utang Sriwijaya.

“Hal tersebut mengenai B to B dengan customer, tidak etis kalau kami sampaikan ke pihak lain,” ungkapnya.

Sebelumnya, Garuda Indonesia Group, melalui anak perusahaannya Citilink Indonesia, mengambil langkah strategis dengan mengambil-alih pengelolaan operasional Sriwijaya Air dan NAM Air.

Keputusan itu diambil karena Sriwijaya Air memiliki beban tanggungan ke beberapa BUMN di antaranya PT Pertamina sebesar Rp 942 miliar, PT GMF AeroAsia Tbk. atau senilai Rp 810 miliar, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Rp 585 miliar.

Selain itu, Sriwijaya Air juga memiliki utang spare parts senilai US$ 15 juta, dan kepada PT Angkasa Pura II senilai Rp 80 miliar, serta PT Angkasa Pura I sebesar Rp 50 miliar.

Namun, belakangan ini hubungan antara Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air memanas saat Dewan Komisaris Sriwijaya Air memutuskan untuk melakukan perombakan di jajaran direksi.

Perombakan direksi itu dilakukan pada 9 September lalu. Sekadar informasi, Direktur Utama dan empat anggota direksi Sriwijaya adalah wakil dari Garuda Indonesia Group mengingat pemegang saham Sriwijaya menyerahkan operasionalnya kepada Garuda Indonesia Group melalui Citilink Indonesia pada 9 November 2018.

Manajamen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. memberikan tanggapannya kepada Bursa Efek Indonesia terkait dengan kabar perpecahan kongsi perseroan dengan Sriwijaya Air.

“Laporan yang kami terima dari Citilink Indonesia, sampai dengan saat ini sedang dilakukan pembahasan dan diskusi dengan pihak Sriwijaya Air mengenai perihal tersebut . Atas dasar tersebut, kami belum dapat memberikan keterbukaan informasi kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan publik untuk menghindari kekeliruan serta prematurnya informasi yang disampaikan," tulis manajemen.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus