Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Mantan petinggi RedDoorz mendirikan DishServe yang memakai konsep kuliner dapur hantu.
DishServe mengembangkan dapur milik mitra usaha agar bisa mendapatkan pasar yang luas.
Mitra DishServe bisa mengantongi pendapatan hingga Rp 52 juta per bulan.
Di tengah kesulitan, terdapat kesempatan. Kata mutiara dari ilmuwan Albert Einstein itu menggambarkan nasib Rishabh Singhi pada masa pandemi Covid-19. Pria kelahiran Udaipur, India, ini baru beberapa bulan memulai bisnis perhotelan di New York ketika Covid-19 merebak. Menyadari industri pariwisata tak akan pulih dalam waktu dekat, dia pun menutup bisnisnya. Singhi hijrah ke Indonesia pada 2020 dan melihat peluang baru di bisnis kuliner.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singhi, yang pernah menjabat chief operating officer platform pemesanan hotel dan penginapan RedDoorz, tergiur dengan potensi bisnis pengiriman makanan di tengah masa pandemi. Pertumbuhan gross merchandise value bisnis ini mencapai 183 persen atau US$ 11,9 miliar pada tahun lalu dibanding pada 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seiring dengan perkembangan tersebut, bisnis dapur awan atau cloud kitchen juga turut bertumbuh. Melalui skema ini, operator cloud kitchen mencari mitra usaha, yaitu pemilik dapur atau rumah makan sebagai pemasok makanan. Operator cloud kitchen kemudian mencari konsumen dan memasarkan masakan mitranya melalui platform online. Mereka kemudian berbagi pendapatan.
Belakangan, bisnis ini berkembang ditambah dengan jasa pengantaran, sehingga dikenal dengan istilah ghost kitchen atau dapur hantu atau dapur yang bangunannya tak "terlihat" oleh konsumen, tapi produknya berkualitas. Firma riset Grand View Research memperkirakan ghost kitchen mampu tumbuh 20,7 persen dari 2021 hingga 2028. “Sebagai pengusaha, setiap hari adalah pembelajaran, dan saya percaya pandemi telah memaksa kita untuk berpikir kreatif, sehingga kita bisa melihat peluang dalam krisis,” ujar Singhi, seperti dikutip dari KrASIA.
Singhi kemudian mengajak kawan lamanya, yaitu Stefanie Irma, Vinav Bhanawat, dan Fathhi Mohamed, untuk mengembangkan bisnis dengan memanfaatkan layanan pengiriman makanan serta cloud kitchen. Pada Oktober 2020, mereka meluncurkan DishServe.
Start-up DishServe bekerja sama dengan 95 dapur dan bermitra dengan lebih dari 30 merek makanan serta minuman. Facebook/DishServe
Singhi menuturkan DishServe memiliki konsep yang berbeda dibanding cloud kitchen yang ada di Indonesia saat ini. Perusahaan ini membangun jaringan ghost kitchen dan menghubungkannya dengan pengusaha makanan serta minuman rumahan. Pengusaha bisa bekerja sama meningkatkan fasilitas produksi sekaligus memperluas jaringan distribusi. Di sisi lain, masyarakat bisa mendapat tambahan pilihan makanan serta minuman yang bisa dikirim lebih cepat dan murah. DishServe menawarkan kecepatan pengiriman kurang dari 10 menit.
Menurut Singhi, skema ini akan membantu pengusaha kecil menjangkau lebih banyak pelanggan. “Perusahaan besar, seperti McDonald’s dan KFC, memiliki ratusan gerai sehingga jangkauannya luas. Sementara itu, bagi pengusaha kecil, untuk membuka 100 cabang, misalnya, sulit dilakukan karena mahal,” ujarnya.
Saat ini, DishServe telah bekerja sama dengan 95 dapur di kawasan Jakarta Pusat dan bermitra dengan lebih dari 30 merek makanan serta minuman. Start-up tersebut juga berkolaborasi dengan operator cloud kitchen, seperti GrabKitchen dan Yummy Corp, untuk menjadikan start-up DishServe sebagai pusat distribusi yang paling dekat dengan pelanggan.
Menurut Singhi, tak sulit bergabung dengan DishServe. Setiap orang yang memiliki ruangan untuk memasak, dari dapur rumah, katering, sampai restoran, bisa mendaftar menjadi mitra. DishServe akan menilai kualifikasinya lewat foto dan video dapur yang dikirim calon mitra. Jika cocok, tim DishServe akan meningkatkan kualitas ruangan tersebut sesuai dengan standar perusahaan, dari aspek kebersihan, kelengkapan peralatan, hingga prosedur operasinya. DishServe rata-rata mengeluarkan investasi US$ 500 atau sekitar Rp 7,2 juta untuk melengkapi dapur mitranya.
Setelah kerja sama terjalin, DishServe memungut komisi 30 persen dari pengusaha penyewa dapur dan memberikan 20 persen komisi tersebut kepada pemilik dapur. Dengan skema bagi hasil tersebut, pemilik dapur dapat menerima pendapatan bulanan hingga US$ 3.600 atau sekitar Rp 52 juta.
Singhi menargetkan ekspansi DishServe ke beberapa kota sampai akhir 2022. Namun dia tak mendetailkan lokasi pilihannya. Dia pun tidak menjelaskan rencana pendanaan untuk memenuhi target tersebut. Singhi menuturkan bahwa membuka bisnis di tengah masa pandemi tidaklah mudah. Salah satu tantangan terbesarnya adalah menerapkan protokol kesehatan dan keamanan yang ketat. Mereka harus mencari standar yang bisa dipenuhi semua pengusaha. “Sekarang kami memiliki teknologi yang membuat operasi lebih mudah.”
Singhi optimistis potensi bisnis kuliner generasi baru ini akan cemerlang pada masa mendatang. “Perilaku konsumen telah berubah. Sekarang tidak perlu lagi keluar untuk membeli makanan karena layanan pengiriman sudah banyak. Saya pikir ada potensi besar untuk cloud kitchen pada masa depan.”
VINDRY FLORENTIN
Pendiri DishServe, Rishabh Singhi. Dok. DishServe
Profil:
Nama perusahaan: DishServe
Tanggal pendirian: September 2020
Sektor usaha: Makanan dan Minuman
Pendiri: Rishabh Singhi
Pendanaan: Insignia Ventures Partners (Pre-seed)
Alamat: Jalan Mega Kuningan Barat, Jakarta, 12950
Tulisan ini adalah kerja sama Koran Tempo dengan KrASIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo