Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAUT wajah Silmy Karim kini lebih sumringah. Gunungan utang senilai US$ 2 miliar atau sekitar Rp 30 triliun yang mengendap di neraca PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, perusahaan yang dipimpinnya sejak September 2018, dipastikan bisa dilunasi perlahan dan berbunga rendah lewat restrukturisasi dengan sejumlah bank. “Paling enggak sekarang sudah bisa napas. Dulu airnya segini, kaki saya begini,” kata Silmy dengan tangan di depan hidung sembari bergerak bak akan tenggelam.
Namun pekerjaan Silmy belum rampung. Kepada Putri Adityowati dan Vindry Florentin dari Tempo, Selasa, 28 Januari lalu, pria 46 tahun ini menceritakan sejumlah langkah strategis Krakatau selanjutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjanjian restrukturisasi dengan empat bank kreditor yang tersisa tuntas dalam waktu dua bulan. Sengaja dikebut?
Jadi percepatan itu karena setiap Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara sekarang memiliki portofolio. Kami punya rapat koordinasi setiap pekan sehingga banyak persoalan bisa selesai dalam waktu seratus hari. Tiga bulan itu sudah harus selesai karena masuk key performance index. Urusan utang kan sulit karena jumlahnya besar. Kalau salah treatment, artinya mengganggu penagihannya, dia ada impairment (penurunan nilai aset). Di sini harus didiskusikan yang baik supaya win-win.
Kalau digabungkan, restrukturisasi dengan total sepuluh bank ini memakan waktu lebih setahun. Bagaimana bisa akhirnya rampung?
Ini semua hasil negosiasi dan didukung Otoritas Jasa Keuangan. Sebetulnya tidak ada isu. Tolonglah, bantu kami bereskan Krakatau Steel, itu saja. Kalau kami bagus kan bisa cepat bayar. Toh, kami juga akan jual aset nih. Jual aset yang kira-kira tidak produktif dulu, lalu aset yang menguntungkan dan tidak related, dan yang tidak menguntungkan tapi berhubungan. Kalau yang untung dan berhubungan dengan bisnis kami, ya, ngapain dijual, bisa buat nyicil.
Apa saja skema penjualan anak perusahaan yang disiapkan?
Banyak yang sedang dikaji agar mendapat nilai maksimum. Kita lihat saja nanti apa yang terbaik. Nanti kami cari, bisa partner strategis, bisa dengan penawaran umum saham perdana (IPO), bisa sinergi antar-BUMN. Mungkin bank juga ingin mengambil. Kenapa enggak kalau dia berani bayar mahal.
Bagaimana kelanjutan pengembangan kluster 10 juta ton Krakatau Posco?
Kalau mau jujur, investasi terbesar di Indonesia itu kan dari Posco, sekitar US$ 3,5 miliar. Kami berkepentingan menjaga supaya investasi Posco bisa kembali. Jangan sampai kemudian citra di luar investasi di Indonesia tidak menguntungkan, padahal dari sisi demand naik setiap tahun, meski impor naiknya luar biasa. Posco merencanakan peningkatan produksi sampai 10 juta, sekarang posisinya 3 juta ton. Artinya kan perlu tambah lagi. Sedangkan proyek blast furnace tidak (berproduksi), ditambah jadi 5 juta.
Itu sebabnya pergi ke Korea untuk lobi?
Kami ke Korea untuk bicara dengan Korea Eximbank agar terus men-support pinjaman Krakatau Posco. Dan kami sampaikan sekarang sudah selesai restrukturisasi utang.
Kalau beres, rencana lama memasukkan Krakatau ke holding pertambangan akan direalisasi?
Masuk holding itu syaratnya untung. Menurut saya, okay kalau sudah positif 2020. Januari ini positif, tapi soal holding nanti dulu. Positif itu kan harus dikasih satu semester atau satu tahun sehingga nanti tidak mengganggu yang lain. Jadi mending kami selesaikan dulu.
Masalah proyek tanur tiup tinggi (blast furnace) yang investasinya membengkak sudah dibereskan?
Saya stop per 5 Desember. Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta KPMG Global, sudah keluar dan memang harus ditutup. Harus diganti ujungnya, jadi tidak lagi melewati fasilitas yang lama. Pakai fasilitas baru. Jadi nanti 100 persen tidak memakai gas.
Apa saja temuan audit itu?
Pertama, ini kan proyek mangkrak yang harus diselesaikan. Manajemen sudah melakukan upaya untuk menyelesaikan. Kemudian dijalankan untuk membuktikan uji kelayakannya, sesuai atau tidak. Pas lagi dijalankan, ternyata kemudian biaya operasinya tinggi. Kami mengukur, berapa, sih, baja yang dihasilkan. Nah, kalau harga per tonnya lebih mahal US$ 100-120, tidak bisa berkompetisi. Makanya kemudian saya stop.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo