Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Suara sang arsitek

Eks menko ekuin dan ketua bappenas prof.dr. widjojo nitisastro, mengungkapkan bahwa dana penerimaan dalam negeri tergantung pajak dalam negeri. dalam rapbn 1987/1988 dipatokkan rp 3,546 trilyun. (eb)

14 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH agak lama bekas Menko Ekuin dan Ketua Bappenas Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, 59, tak bertemu wartawan. Dan terbilang jarang pula ekonom kawakan yang pernah dijuluki arsitek pembangunan ekonomi Indonesia itu berbicara ihwal ekonomi nasional. Maka, bisa dimaklumi, cukup banyak wartawan yang ingin bertemu muka dengan teknokrat kelahiran Malang, Ja-Tim, itu. Dan kesempatan itu terbuka Minggu pekan lalu. Yakni tatkala Pak Widjojo begitu doktor lulusan Universitas Berkeley, AS, ini biasa dipanggil - tampil sebagai penceramah di pertemuan para pemimpin redaksi dan ketua PWI se-Indonesia di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Gayanya tak banyak berubah. Tenang dan tetap bernada rendah. Tapi penasihat Presiden khusus bidang Ekuin inim sempat agak mengejutkan para pendengarnya ketika berbicara soal dana penerimaan dalam negeri. Soalnya, dia agak gamblang menyorot perubahan sumber dana - kini amat bergantung pada pajak dalam negeri yang mau tak mau harus ditempuh pemerintah, antara lain karena tak menentunya harga minyak dan gas bumi. Secara lebih khusus dia menyebut, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam RAPBN 1987/1988 memang dipatokkan Rp 3,546 trilyun. Atau sekitar 34,43% dari seluruh penerimaan dalam negeri di luar minyak bumi dan gas alam (Rp 10,297 trilyun). Ini soal serius dan, menurut Widjojo, harus bisa diperoleh. Karena itu, dia terang-terangan mengingatkan agar segala kemungkinan yang bisa mengurangi perolehan dari PPN ini dihindari. Ia tentunya mengikuti perkembangan adanya pengusaha yang meminta pembebasan PPN. Karenanya, ia menyarankan, "Alangkah baiknya kalau bisa kita menghindarinya. Sebab, jika satu permohonan dikabulkan, akan datang pemohon lain, maka usaha meningkatkan penerimaan dalam negeri akan terhambat." Sorotan tajam tokoh ini -- yang pada usia 39 tahun sudah diangkat sebagai Ketua Tim Penasihat Ekonomi Presiden -- terhadap PPN, tak ayal, memang memperlihatkan dia sebagai pengamat yang jeli. Sebab, sejak penarikan pajak digiatkan, setelah berlakunya UU No. 8 tahun 1983, PPN-lah (nama lengkapnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah) yang terlihat berdebut bagus dalam memasukkan rupiah ke kocek pemerintah. Paling tidak jika dibandingkan dengan pos lain, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang tak begitu gencar disinggung Widjojo. Ada dasar untuk itu, tentu. PPh, yang dianggarkan bakal sekitar Rp 3,3 trilyun pada RAPBN 1987/1988, masih ditagih tersendat-sendat. Realisasi pajak ini pada 1985 -- 1986, misalnya, masih Rp 761 milyar, di bawah sasaran yang ditetapkan: sekitar Rp 2,3 trilyun. Lain dengan PPN, yang untuk semester pertama tahun anggaran 1986-1987 saja sudah mampu menyumbangkan pemasukan 63 % dari sasaran yang berjumlah sekitar Rp 2,14 trilyun. Banyak ekonom, di antaranya Arsyad Anwar, memperkirakan hasil PPN 1986 -- 1987 akan bisa memenuhi sasaran. Pada anggaran 1987 -- 1988 pun suara yang yakin PPN akan bisa lebih berhasil ketimbang PPh sudah kerap terdengar. Dan Prof. Widjojo adalah salah satu di antaranya. Hingga, dia seperti cemas melihat sumber dana ini diganggu-ganggu. Kecemasan ekonom ini rupanya tak perlu. Sebab, Dirjen Pajak Salamun A.T. sudah menegaskan, "Tak ada rencana pemerintah untuk mengadakan pembebasan PPN." Dia mengakui, banyak perusahaan yang mengajukan permohonan pembebasan PPN. "Alasan mereka hampir sama, ya, agar dapat keringanan. Tapi ini tak mungkin, karena istilah pembebasan itu tak ada dalam undang-undang," kata Salamun pada TEMPO. Dirjen yang gesit ini mengakui memang ada keringanan yang diatur lewat Keppres No. 37/1986 atas PPN. Istilahnya bukan pembebasan, tapi penangguhan. Dan ini khusus ditujukan pada perusahaan atau proyek yang memang didorong dan dinilai cukup strategis. Misalnya, untuk mendorong pariwisata, usaha perhotelan memperoleh keringanan itu. "Semua itu sudah dipikirkan masak-masak oleh pemerintah," tambahnya. Tetap diusahakan dunia usaha bisa terus jalan, dan pemerintah dapat duit. Menarik pajak, kata Salamun lagi, seperti mengambil telur dari seekor ayam. "Kalau ayamnya sehat, ya, telurnya banyak. Kalau ayamnya mati, ya, mana dapat telur," katanya sambil ketawa lebar. M.S., Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus