Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cambuk Pertama untuk Mak

Seorang perempuan nonmuslim dihukum cambuk karena menjual minuman keras. Kasus pertama sejak Qanun Jinayat berlaku di wilayah Aceh.

25 April 2016 | 00.00 WIB

Cambuk Pertama untuk Mak
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PINTU toko kelontong bercat oranye di Jalan Asir-Asir, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, itu tertutup rapat. Pemilik toko-sebut saja namanya Mak Cak-yang biasa melayani kebutuhan masyarakat di sekitar rumah toko itu sudah dua bulan tak kelihatan. "Mak lagi pulang ke Medan," kata Ati, 53 tahun, penjaga toko itu, Selasa pekan lalu.

Ati tak tahu di mana persisnya alamat Mak Cak "tetirah". Ia mengaku hanya diminta membuka toko itu sebentar-sebentar agar tak bau apak. Ketika pintu toko dibuka, terlihat beragam barang kebutuhan pokok keluarga dan makanan ringan. Ati hanya membiarkan pintu toko terbuka sekitar 20 menit sebelum menguncinya kembali rapat-rapat.

Mak Cak, 60 tahun, pulang ke Medan setelah didera hukuman cambuk, Selasa dua pekan lalu. Mahkamah Syariah Takengon memvonis Mak Cak bersalah menyimpan dan menjual minuman keras (khamar) di dalam tokonya. Mahkamah menghukum Mak Cak 30 kali cambukan dipotong masa tahanan sebanyak 2 kali cambukan. Total Mak Cak menerima 28 cambukan.

Mak Cak dianggap melanggar Pasal 5 huruf C dan Pasal 16 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Ia warga nonmuslim pertama yang dikenai hukuman cambuk sejak hukum pidana Islam berlaku di wilayah Aceh. Penganut Kristen Protestan itu menjalani hukum cambuk di depan Gedung Olahraga Seni Aceh Tengah di Takengon. Hari itu, seorang algojo mengenakan jubah dan penutup kepala mencambuk tubuh Mak Cak yang ringkih dengan rotan berdiameter 0,75 sentimeter dan panjang 80 sentimeter. Disaksikan orang ramai, Mak Cak menjalani hukuman bersama empat orang lain dalam kasus berbeda, yakni kasus zina dan perbuatan mesum.

Juru bicara Mahkamah Syariah Takengon, Zuhra, mengatakan, dalam berkas kasus yang dilimpahkan ke Mahkamah, semua data pribadi Mak Cak, termasuk agama yang dianutnya, tercantum dengan jelas. Selama sidang, Mak Cak tak pernah membantah telah menjual khamar sendiri atau tidak bersama orang lain yang beragama Islam. Setelah putusan dijatuhkan, Mak Cak pun tak mengajukan permohonan banding. "Artinya dia menerima putusan Mahkamah Syariah," ucap Zuhra menyimpulkan.

Sebelum dihukum cambuk, Mak Cak ditahan selama 47 hari. Karena itu, menurut Zuhra, hukuman cambuk untuk Mak Cak dipotong dua kali. Berdasarkan hukum Jinayat, pelanggar qanun yang menjalani masa penahanan selama 30 hari, hukuman cambuknya dipotong satu kali. "Untuk Mak Cak, setelah 28 kali dicambuk, dia bebas," ujar Zuhra.

Mak Cak bukan warga asli Takengon. Ia pendatang dari Sumatera Utara. Sudah belasan tahun Mak Cak tinggal dan berdagang di ruko Jalan Asir-Asir, Desa Kampung Baru, Takengon Barat.

Meski terletak di pinggiran kota, toko Mak Cak terbilang strategis karena berhadapan dengan hulu Kreung (Sungai) Peusangan. Toko itu berjejeran dengan rumah penduduk dan berhadapan dengan masjid tua di seberang sungai. Berjarak 1,5 kilometer dari lokasi wisata Danau Laut Tawar, udara di kawasan dengan pemandangan alam khas perdesaan ini pun masih terasa sejuk.

Kepala Dusun Lorong I Kampung Baru, M. Yunus, 50 tahun, mengatakan toko Mak Cak terkenal sampai ke desa-desa sekitar. Di rumah toko itu, Mak Cak hidup sendirian setelah suaminya meninggal lima tahun lalu. "Anaknya tinggal di Medan, tak tahu alamatnya di mana," kata Yunus, Selasa pekan lalu.

Menurut Yunus, warga Kampung Baru sebenarnya sudah lama mengetahui toko Mak Cak diam-diam menyediakan aneka minuman keras. Namun sebelumnya warga sekitar tak pernah mempersoalkan hal itu. Karena itu, Mak Cak pun tenang-tenang saja menjual berbagai merek minuman beralkohol, anggur merah, dan anggur putih.

Setelah Qanun Jinayat berlaku, polisi pernah menggerebek toko Mak Cak karena pelanggannya banyak mahasiswa. Seusai penggerebekan itu, Mak Cak tetap berjualan minuman keras yang lumayan laris. Pada 26 Februari lalu, Kepolisian Resor Aceh Tengah kembali menggerebek toko Mak Cak.

Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Tengah Ajun Komisaris Boby Putra Ramadhan, polisi menerima laporan dari masyarakat tentang penjualan minuman keras di Kampung Baru. "Kami cek ke lokasi dan menemukan minuman keras berbagai jenis," ujar Boby, Kamis pekan lalu.

Polisi menyita 48 botol kecil dan 2 botol besar minuman jenis anggur merah merek Columbus, 22 botol minuman anggur buah Vigour, serta 8 botol Sea Horse. Polisi pun menahan Mak Cak sampai berkasnya dilimpahkan ke kejaksaan. "Karena di Aceh ada perda syariah, jaksa melimpahkan kasus ini ke Mahkamah Syariah," kata Boby.

Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh Syahrizal Abbas mengatakan penduduk nonmuslim yang menundukkan diri kepada Qanun Jinayat bisa dikenai hukuman cambuk bila terbukti bersalah. "Kalau menundukkan diri, boleh saja. Ini diatur undang-undang," ujarnya.

Syahrizal merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pasal 126 ayat 2 menyatakan setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam. Selanjutnya, pasal 129 ayat 1 dan 2 menyebutkan, jika pelaku nonmuslim memilih secara sukarela atau perbuatan itu tidak diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka berlaku hukum syariah.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Imdadun Rahmat mengatakan lembaganya masih mencari informasi apakah Mak Cak terkena hukum cambuk karena dipaksa atau atas pilihan sendiri. "Akan jadi masalah hak asasi jika dia dipaksa menerima hukuman cambuk," ucap Imdadun. Tak meninggalkan alamat ataupun nomor telepon ketika pulang ke Medan, Mak Cak belum bisa dimintai keterangan apakah dia menerima atau terpaksa dihukum cambuk.

Nur Haryanto, Imran MA (Takengon), Adi Warsidi (Banda Aceh)


Qanun Nomor 6 Tahun 2014

Pasal 5

Qanun ini berlaku untuk:
a. Setiap orang beragama Islam yang melakukan Jarimah (delik, tindak pidana) di Aceh;
b. Setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan Jarimah di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada Hukum Jinayat;
c. Setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan Jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan pidana di luar KUHP, tapi diatur dalam qanun ini; dan
d. Badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.

Pasal 16
(1). Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, menyimpan/menimbun, menjual, atau memasukkan Khamar, masing-masing diancam dengan 'Uqubat Ta'zir cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus