Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Pertanian dalam laporannya bertajuk Outlook Komoditas Perkebunan Tebu 2023 memperkirakan kebutuhan gula meningkat ke angka 7,5-7,7 juta ton pada periode 2024-2027. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan produksi gula tak signifikan.
Rendahnya produksi gula antara lain dipicu minimnya luas lahan tanam dan panen tebu. Merujuk pada data BPS, luas panen tebu tidak sampai 500 ribu hektare selama periode 2019-2021.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Dwi Purnomo Putranto menyatakan produksi rendah berkaitan dengan minat petani tanam tebu yang juga rendah. Beberapa tahun terakhir harga jual komoditas ini tak menarik.
PRESIDEN Prabowo Subianto menargetkan pemerintah bisa memenuhi kebutuhan sejumlah bahan pangan sendiri mulai 2028. Gula termasuk dalam daftar target swasembada tersebut. Impor gula diharapkan makin berkurang.
Gula menjadi perhatian lantaran pemenuhan kebutuhan atas komoditas yang satu ini bergantung pada impor. Badan Pusat Statistik mencatat volume impor gula mencapai 5 juta ton pada 2023. Jumlahnya sedikit berkurang setelah selama periode 2020-2022 volume impor mencapai 5,5-6 juta ton per tahun. Sepanjang Januari-September ini, Indonesia sudah mendatangkan 3,66 juta ton gula dari luar negeri.
Impor sebesar itu dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi yang berada di kisaran 7 juta ton per tahun, sedangkan kapasitas produksi gula di dalam negeri hanya sekitar 2,2 juta ton tiap tahun.
Kementerian Pertanian dalam laporannya bertajuk Outlook Komoditas Perkebunan Tebu 2023 memperkirakan kebutuhan gula meningkat ke angka 7,5-7,7 juta ton pada periode 2024-2027. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan produksi gula tak signifikan. Kementerian menghitung produksi gula hanya 2,2-2,4 juta ton selama periode 2024-2027.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Setiari Marwanto, menyebutkan rendahnya produksi gula antara lain dipicu minimnya luas lahan tanam dan panen tebu. Merujuk pada data BPS, luas panen tebu tidak sampai 500 ribu hektare selama periode 2019-2021. Dalam Outlook Tebu 2023 disebutkan angka sementara luas panen tebu per 2022 hanya 483 ribu hektare, sedangkan pada 2023 diperkirakan seluas 494 ribu hektare.
Selain karena ada perubahan peruntukan lahan perkebunan, Setiari menyatakan tak mudah mencari lahan yang cocok untuk tanaman tebu. "Tebu tidak bisa ditanam di sembarang tempat. Dia butuh bulan kering yang cukup panjang," tuturnya kepada Tempo, kemarin, 1 November 2024. Ini penting untuk menjaga tingkat rendemen.
Tantangan lain adalah penyakit. Setiari mencatat selama ini varietas Bululawang menjadi primadona petani lantaran punya daya tahan yang bagus, terutama melawan penyakit luka api, salah satu musuh utama tebu. "Tapi seiring dengan berjalannya waktu, ketahanannya juga patah," kata dia. Artinya, pemerintah butuh varietas baru yang tak hanya bisa menjawab masalah serangan penyakit, tapi juga keterbatasan lahan.
Masalah juga terjadi di sisi hilir alias pengolahan tebu. Setiari menyatakan kebanyakan pabrik gula di dalam negeri sudah berumur. Pengusaha butuh revitalisasi untuk meningkatkan produksi yang tak lagi efisien menggunakan mesin tua. Namun tak semua pengusaha mampu menyiapkan modal besar untuk meremajakan alat kerja mereka.
Pekerja mengemas gula mentah impor dari India di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada Juni 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Dwi Purnomo Putranto menyatakan produksi rendah berkaitan dengan minat petani tanam tebu yang juga rendah. Beberapa tahun terakhir harga jual komoditas ini tak menarik.
Sejak 2015, harga acuan pembelian gula petani hanya sekitar Rp 9.000 per kilogram. Kenaikannya tipis sehingga tahun lalu pemerintah menaikkan harga acuan pembelian menjadi Rp 14.500 per kilogram dan Rp 15.500 per kilogram untuk Indonesia timur serta daerah tertinggal, terluar, terpencil, dan perbatasan. Kebijakan ini, menurut Dwi, mendorong sejumlah petani mulai menanam tebu. "Tahun ini area tanaman tebu sudah di atas 500 ribu hektare," katanya.
Tantangan lain untuk meningkatkan produksi gula adalah perubahan iklim serta kedatangan fenomena seperti El Niño dan La Niña. Belum lagi ada masalah soal pupuk yang mahal.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman punya target yang jelas: Indonesia akan swasembada gula konsumsi pada 2028 dan gula industri pada 2030. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), suatu negara disebut swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.
Untuk mengejar target swasembada, pemerintah sudah mencanangkan penambahan luas area tebu hingga 1,11 juta hektare. Nantinya perkebunan ini terintegrasi dengan pabrik gula serta pabrik bioetanol. Lokasinya ada di Kabupaten Merauke, Papua.
Proyek tersebut diinisiasi Presiden Joko Widodo lewat Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke. Rencananya, ada 10 perusahaan yang tergabung dalam empat konsorsium yang akan menggarap lahan tebu ini.
Upaya ekstensifikasi lahan tebu itu bukan yang pertama. Pada 2016, pemerintah punya program swasembada gula yang ditargetkan terlaksana pada 2024. Menteri Pertanian saat itu Amran Sulaiman—yang sekarang kembali menjabat—menerjemahkan titah Presiden Jokowi dengan membuka investasi ladang tebu dan pabrik gula.
Aktivitas bongkar-muat gula pasir dari India di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, April 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang mendapat konsesi perkebunan tebu adalah PT Jhonlin Batu Mandiri, anak usaha Jhonlin Group milik Andi Syamsuddin Arsyad yang lebih populer dipanggil Haji Isam. Perusahaan tersebut mengantongi konsesi 20 ribu hektare untuk ladang tebu dan pabrik gula di Bombana, Sulawesi Tenggara, selama 10 tahun. Isam juga aktif membeli perusahaan-perusahaan tambang emas di sekitar lokasi untuk dikonversi menjadi kebun tebu. Totalnya lebih dari 30 ribu hektare.
Saat itu Jhonlin berencana mendirikan pabrik gula dengan kapasitas giling 12 ribu ton tebu sehari. Hasilnya berupa 104.400 ton gula kristal putih setahun. Namun perkebunan dan pabrik tersebut tidak masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Bombana 2013-2030.
Dalam laporan majalah Tempo edisi 7 September 2019 bertajuk "Gula-gula Dua Bersaudara", Isam menyatakan ikut membuka kebun tebu karena ingin membantu pemerintah mewujudkan swasembada gula. Kendati tidak memiliki pengalaman berbisnis tebu atau gula, dia bersedia menyediakan uang tunai sebagai syarat investasi.
Melihat rencana pemerintah membuka lahan perkebunan besar, Setiari mengingatkan sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi agar upaya kali ini membuahkan hasil. Dia menyatakan perlu ada pertimbangan soal sumber daya manusia yang bakal menggarap lahan sehingga butuh dukungan mekanisasi. "Di sana juga ada tanah ulayat yang cukup kompleks," kata dia. Jika tak diselesaikan dengan baik, masalah tersebut bisa menghambat pencapaian target food estate.
Di sisi lain, pembukaan lahan baru juga perlu mengantisipasi hama dan penyakit. Bibit juga menjadi perhatian Setiari. "Kita harus memastikan bibit itu nanti bisa tumbuh bagus dan menghasilkan rendemen tinggi di sana."
Dwi menambahkan, pemerintah perlu lebih dulu melakukan pengkajian komprehensif upaya ekstensifikasi lahan ini. "Bukan cuma pengkajian teknis, tapi juga soal iklimnya, jenis tanah, dan bibit serta ada isu mengenai deforestasi yang mesti dipikirkan," katanya.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alam Syah mengatakan pemerintah menargetkan peningkatan produktivitas tebu sebesar 93 ton per hektare lewat perbaikan pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan tebang muat angkut. Selain itu, pemerintah menyiapkan bibit tebu unggul yang lebih produktif serta tahan terhadap hama dan penyakit. Strategi lain yang sudah disusun adalah memberikan pelatihan dan pendampingan teknis kepada petani tebu hingga menyediakan pupuk serta alat atau mesin pertanian untuk petani.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Oyuk Ivani Siagian berkontribusi dalam penulisan artikel ini