Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta- Pelaku usaha mulai mengantisipasi fluktuasi nilai tukar rupiah di 2019, salah satunya dengan mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mencontohkan upaya yang dilakukan adalah dengan memproduksi subsitusi bahan baku impor tersebut di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Untuk mengurangi impor bahan baku PTA yang beberapa tahun terakhir defisit, anggota kami akan kembali memproduksi PTA sehingga supply-demand bahan baku menjadi seimbang, dan kita tidak perlu impor,” ujarnya, kepada Tempo, Jumat 7 Desember 2018.
Redma mengatakan hal itu juga sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tambahan bahan baku untuk menyuplai ekspansi serat dan benang filament polyester yang dilakukan anggota lainnya. Dengan demikian, tahun depan pihaknya menargetkan akan ada tambahan kapasitas 300 ribu ton serat rayon.
Dia melanjutkan upaya tersebut diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri tekstil di dalam negeri. “Dengan ini kami berharap industri hilirnya mengurangi impor, sehingga tidak terganggu oleh fluktuasi nilai tukar.” Menurut Redma, yang terpenting bagi pelaku usaha adalah stabilitas nilai tukar, dengan kisaran fluktuasi tak lebih dari 2 persen.
Ancang-ancang meminimalisasi risiko gejolak nilai tukar tahun depan juga dilakukan oleh produsen otomotif. Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam berujar dalam jangka pendek perseroan akan melakukan efisiensi dan menunda investasi yang dinilai tidak perlu. “Jangka panjang kami terus melakukan lokalisasi untuk substitusi barang impor dan mengurangi porsi impor,” ucapnya.
Bob menjelaskan saat ini ada tiga hal yang coba dikembangkan di dalam negeri oleh TMMIN, yaitu komponen, tooling, dan material. “Tapi walaupun komponennya sudah lokal, sebenarnya banyak material yang sebenarnya impor,” katanya. Secara presentase, nilai komponen lokal kata dia rata-rata mencapai 80-90 persen.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengatakan opsi lain yang dipilih untuk mengantisipasi kurs rupiah yang lebih mahal tahun depan, adalah melakukan stok bahan baku impor lebih awal.
“Perkiraan kami tahun depan kurs di kisaran Rp 14.500 – 15.000 per dolar AS, tetap di atas tahun ini sehingga kami juga perlu melakukan review harga pada awal tahun depan,” ujarnya. Terlebih, selain kurs tantangan dunia usaha tahun depan kata Adhi adalah kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan rencana kenaikan biaya logistic karena pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM).