Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Seorang nasabah bank syariah swasta, Asep Nugraha (nama alias), menceritakan sulitnya mendapatkan relaksasi utang di masa pandemi Covid-19. Pengusaha daging sapi berusia 51 tahun yang berdomisili di Bandung itu mengatakan telah mengajukan keringanan pembayaran utang di bank swasta syariah cabang Lembong, Bandung, sejak April 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya mengajukan restrukturisasi karena seretnya cash flow perusahaan imbas pandemi yang membatasi pergerakan sehingga terjadi penurunan daya beli. Ini terlihat pada kredit konsumen kami macet,” ujar Asep saat dihubungi Tempo, Sabtu, 24 Juli 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asep berkisah ia mulai meminjam modal sebesar Rp 1,5 miliar di bank syariah swasta pada 2017 untuk mengembangkan usahanya. Total masa pinjaman yang disepakati adalah 120 bulan.
Adapun bunga yang dipatok oleh bank saat itu sebesar 8,25 persen berupa bunga tetap selama 1-2 tahun. Setelah 3-5 tahun, bank memberlakukan suku bunga cap sebesar 8 persen dan selanjutnya berlaku bunga floating.
Asep membayar cicilan flat per bulan sebesar Rp 18,5 juta. Namun realisasi pembayaran pada tahun-tahun awal kredit berjalan lebih besar untuk beban pembayaran bunga ketimbang pokok. Setelah pinjaman berjalan 33 bulan atau pada April 2020, Asep mengajukan keringanan pembayaran akibat pandemi Covid-19.
Mulanya Asep menduga relaksasi dapat mengurangi beban utang. Dia kemudian melakukan negosiasi dengan bank agar mengabulkan permohonan keringanan yang diajukan. Namun restrukturisasi yang ditawarkan ternyata tidak menyentuh keringanan-keringanan nominal atau besaran bunga.
Menurut Asep, bank hanya menawarkan restrukturisasi berupa pembayaran bunga tetap yang dilakukan selama 6 bulan dan pokok dibayarkan prorata di sisa masa pinjaman mulai bulan ke tujuh dan seterusnya. Opsi kedua adalah nasabah cuti membayar cicilan utang selama enam bulan. Namun cuti ini dibayar penuh di akhir masa pinjaman.
“Jadi hanya masalah waktu saja yang mereka toleransi, tidak masalah besaran nominal,” katanya.
Sejak saat itu, Asep bercerita tidak lagi melanjutkan proses restrukturisasi utang. Sebab menurut dia, opsi yang ditawarkan bank hanya menunda masalah di tengah iklim dunia usaha yang tidak menentu.
Tak berhenti di situ, Asep menemukan sejumlah masalah lain. Pada Juni 2020 saat likuiditas perusahaannya berada dalam konsisi memburuk dan ia kesulitan membayar cicilan, Asep mengaku tidak bisa membayar utang menggunakan uangnya yang ditahan oleh pihak bank.
“Padahal masih ada dana kami yang di-hold oleh mereka tiga bulan (kesepakatan) itu pun tidak bisa kami pakai untuk membayar cicilan,” ujar Asep.
Di sisi lain, bunga utang yang semestinya turun 0,25 persen sesuai perjanjian karena telah melewati tahun pinjaman ketiga pun tidak berkurang sama sekali. “Setelah saya protes baru diturunkan,” ujarnya.
Asep menyayangkan sikap bank yang terkesan terus mencari untung di masa pandemi Covid-19. Ia menilai bank syariah tidak menjalankan prinsip ta'awun atau tolong-menolong di tengah krisis. “Yang saya sayangkan kenapa bank bertahan untuk selalu untung di seluruh masa kredit ini, padahal ada pandemi, sementara dunia usaha berjibaku untuk bertahan hidup,” ujarnya.
Sulitnya melakukan relaksasi utang di bank syariah juga dirasakan oleh pengusaha jalan tol, Jusuf Hamka. Ia mengklaim mengalami pemerasan oleh salah satu bank syariah swasta. Pemerasan terjadi saat Jusuf meminta relaksasi bunga utang perusahannya dari 11 persen menjadi 8 persen, namun tak dikabulkan bank.
Jusuf kemudian memilih melunasi utang perusahaannya kepada bank senilai Rp 795 miliar dari total utang Rp 800 miliar. Namun uang yang telah ia setor tidak kunjung dicatatkan sebagai pelunasan dan bank tetap menagih bunga selama dua bulan berlangsung.