Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Menciut Dirundung Protes

Diusik aktivis lingkungan, pengusaha sawit tetap optimistis target kenaikan produksi dan ekspor bakal tercapai.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI berbadan kekar itu sigap memasukkan empat bongkah tandan buah sawit ke dalam gerobak dorong beroda tiga, hingga penuh. Tak lama, Suyono, 47 tahun, menanti mobil pikap untuk mengangkut hasil panen itu.

Sekitar 200 kepala keluarga yang bekerja sebagai petani sawit seperti Suyono di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Sikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau, sedang sumringah. Harga kelapa sawit sedang bagus, Rp 1.500 per kilogram.

Pendapatan Suyono bisa mencapai Rp 7,5 juta per bulan. Dipotong biaya perawatan kebun dan cicilan kaveling setengah hektarenya itu, pendapatan bersih mencapai Rp 4 juta. "Sebagian dikirim ke kampung untuk sekolah keponakan di Surabaya, sisanya ditabung untuk beli empat hektare lahan sawit," katanya saat ditemui akhir November lalu.

Namun ia mendadak kecut saat disinggung lahannya mungkin digusur karena berada di atas rawa gambut. Isu penggusuran merebak sejak dua tahun lalu karena penggunaan lahan gambut dituding sebagai penyebab banjir.

Lain lagi cerita Irwan Effendi. Pria 57 tahun ini kalang kabut karena kocek Rp 600 jutanya untuk membeli lahan dan bibit sawit terancam amblas. Sebab, mitra bisnisnya di Singapura menyetop suplai modal pembangunan kebun di Pelalawan seluas 98 hektare. Sang rekan mundur setelah dua tahun belakangan pemberitaan tentang hutan dan lahan Riau makin marak. Isu pembukaan kebun lahan sawit tak ramah lingkungan yang dituding lembaga nirlaba seperti Greenpeace itu dipertanyakan.

Yang Irwan tahu, lahan sawit sebelum digarap sudah gundul. Pengangkutan hasil hutan itu juga telah berlangsung puluhan tahun. "Kami punya surat dan bayar pajak."

l l l

Usaha sawit di Riau memang sedikit terusik oleh aksi organisasi peduli lingkungan hidup seperti Greenpeace. Protes organisasi ini sering dilakukan dengan nekat, seperti yang terjadi di Riau pada 10 November dua tahun lalu. Mereka menuliskan kata kata "Forest Crime" pada lambung kapal Gran Couva yang berisi minyak kelapa sawit yang akan dikirim ke Belanda.

Greenpeace menyoroti pula pembukaan hutan baru pada hutan gambut di Riau. Pesatnya konversi hutan dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan bahan bubur kertas ini dituding sebagai bentuk deforestasi masif di Indonesia.

Tidak berhenti di situ, tudingan pegiat lingkungan ini kian berkepanjangan. Yang teranyar, hasil verifikasi tim independen yang disusun lembaga verifikasi Control Union Certification dan BSI Group menyebutkan SMART memanipulasi laporan audit atas pembukaan lahan gambut. Buntutnya, perusahaan retail pelanggan Sinar Mas menyetop pembelian produk, seperti Burger King, Unilever, Kraft, Nestle, dan Carrefour.

Hingga kini, Greenpeace masih berfokus mengawasi Grup Sinar Mas yang dianggap merusak lingkungan karena membuka lahan gambut dalam bisnis kelapa sawitnya. Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Joko Arif, menyebut anak anak usaha grup ini, seperti Asia Pulp and Paper, Golden Agri Resources, dan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMART), sebagai perusak hutan terbesar.

Bolak balik dituding, Grup Sinar Mas bergeming dan terus berekspansi. Sinyal ini muncul akhir tahun lalu saat Presiden Direktur PT SMART Daud Dharsono menyatakan pemutusan kontrak Unilever tidak berpengaruh. Sebab, hanya tiga persen dari total penjualan perusahaan yang lari ke sana. Pemerintah pun terlihat mendukung perusahaan sawit itu.

Managing Director Grup Sinar Mas Gandi Sulistiyanto malah memastikan bakal agresif menggarap sektor hilir industri crude palm oil (CPO) dengan menjalankan dua pabrik minyak goreng di Jakarta dan Kalimantan pada akhir tahun ini. Kapasitas pabrik di Marunda, Jakarta, dan Tarjun, Kalimantan, dipatok masing masing 800 ton dan 1.000 ton per hari.

Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesi anak usaha Wilmar International Ltd. M.P. Tumanggor pun yakin industri sawit tetap tumbuh. "Terganggu sih pasti, tapi tidak sampai mempengaruhi industri."

Sebab, permintaan CPO dan produk turunannya dari Eropa tak terlalu besar ketimbang dari India dan Cina. Karena itu, nilai investasi Wilmar di Indonesia sedikitnya Rp 500 juta per tahun dinilai tak akan banyak berubah.

Rencana pemerintah melakukan moratorium juga ditanggapi dingin karena hanya mempersoalkan izin izin baru dan area lahan gambut selama dua tahun ke depan. Saat ini total luas lahan sawit mencapai 7,2 juta hektare. Tapi, dengan izin pemerintah lebih dari 12 juta hektare dan belum semuanya ditanami sawit, moratorium dinilai tidak mempengaruhi produktivitas CPO di dalam negeri.

Lagi pula, menurut Tumanggor, industri industri besar emoh menambah luas lahan, tapi melakukan intensifikasi dan pembangunan industri hilir. Dari 21 juta ton minyak sawit produksi nasional saat ini, hanya 8 juta ton yang diolah. Sisanya diekspor dalam bentuk mentah.

Sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil juga tidak lagi dinilai memberatkan perusahaan. Public Affairs Director Cargill Tropical Palm Indonesia Rudolf Saut malah yakin sertifikat itu menghilangkan hambatan produk sawit masuk ke pasar.

Senada, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Fadhil Hasan memprediksi permintaan CPO sebagai bahan baku biofuel tahun depan masih kuat, terutama dari Cina dan India, yang cadangannya menipis. Tambahan lagi, negara negara Eropa Barat berencana mewajibkan biodiesel mulai Desember ini. Sedangkan suplai belum pasti karena La Nina diprediksi berlanjut hingga Maret 2011.

l l l

Tak berbeda dengan pengusaha, pemerintah yakin produksi CPO tetap kinclong tahun depan. Lihat saja ambisi Kementerian Pertanian meningkatkan produksi CPO hingga 23 juta ton tahun depan.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mematok target ekspor nonmigas tahun depan tumbuh 11-12 persen, lebih tinggi ketimbang tahun ini sebesar 7 8,5 persen. CPO tetap menjadi salah satu produk andalannya. Hal ini seiring dengan makin moncernya prediksi harga CPO pada 2011 (lihat tabel).

Meski pertumbuhan investasi diprediksi meningkat, sektor industri hilir khususnya masih dirasa pengusaha kurang menjanjikan. Gandi mengungkapkan, dengan harga sawit tinggi saat ini, sulit berinvestasi di sektor hilir seperti biodiesel karena butuh insentif pajak. Untuk hal ini, kabar baik datang dari Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, yang berjanji memberikan tax holiday untuk pengusaha. Kita tunggu saja.

Kinerja Kelapa Sawit

TahunProduksi (ribu ton)Ekspor (juta US$)Harga CPO* (US$/ton)
200510.3763.757422
200612.1014.818478
200711.8757.869780
200814.29112.376949
200915.52910.368681
201021.000**15.000***810***
201123.000**33.000**1.100***

Sumber: Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Oil World

*) tertinggi **) target ***) prediksi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus