MENGURUS bisnis minyak memang tak mudah. Mulai dari mencari cekung-cekung deposit, menjaring mitra produksi, hingga memasarkannya. Licin seperti belut. Nah, kalau ditambah dengan usaha-usaha lain di luar migas, pasti lebih ruwet. Mungkin karena itulah, setelah Pelita Air Service disapih pada tahun 1985, maka April lalu Pertamina melepas delapan hotelnya kepada PT Patra Jasa. Melepas bukan berarti menghibahkan ataupun menjual. Jangan salah. Buat Pertamina, melepas artinya menyapih anak perusahaan itu. Sebelumnya Pertamina ikut mengelola, di samping ikut menanggung kerugian. Tapi kini hak dan kewajiban itu sepenuhnya berada di tangan PT Patra Jasa. "Sekarang mati hidup hotel-hotel itu di tangan kami," kata B.T. Tobing, Dirut Patra Jasa. Dalam bisnis, jika kewajiban bertambah berat, maka biasanya hak ikut terangkat. Sebelumnya, ketika berstatus sebagai "manajemen upahan", Patra hanya mendapat 10% dari keuntungan. Kini pembagian sisa hasil usaha itu dibagi sama, 50-50. Akan halnya saham, itulah yang sama sekali tak tersentuh, tetap 100% di tangan Pertamina. Tapi seperti yang dikatakan Tobing, gerak Patra lebih leluasa. Tepatnya, lebih lincah. Kebijaksanaannya tidak lagi harus dikonsultasikan kepada direksi Pertamina. "Mereka itu kan sibuk. Dan karena kami harus menunggu, banyak peluang bisnis yang lepas," tambahnya. Kini, dengan segala keleluasaannya, Patra berencana memperluas hotelnya, dari 645 menjadi 1.200 kamar (hotel milik Pertamina seluruhnya ada delapan, dengan aset Rp 30 milyar). Untuk itu, "Kami sekarang bisa negosiasi langsung dengan calon mitra usaha kami," kata Tobing. Tidak jelas, siapa calon mitra usaha itu. Pihak swasta tampaknya banyak yang berminat. Lagi pula, hotel-hotel yang dikelola Patra sekarang jauh lebih baik dibanding 10 tahun silam. Tahun lalu, misalnya, Patra berhasil meraih untung Rp 2 milyar. Tahun ini laba ditargetkan Rp 3 milyar. Bahkan, "Sejak 1985 kami tak pernah minta subsidi lagi," ucap Tobing, bangga. Prospeknya, ya, cerah. Itu terlihat pada usaha Pertamina Cottages (Percot) di Pantai Kuta. Hotel yang kerap menyelenggarakan konperensi tingkat tinggi dan digandrungi oleh turis Jepang ini tahun lalu berhasil menjaring 90 ribu tamu -- dengan tingkat hunian rata-rata 91% dari 225 kamar yang ditawarkan. Dari penjualan kamar, plus penjualan makanan dan minuman, tahun lalu saja omset Percot diperkirakan mencapai Rp 13,3 milyar lebih. "Orang boleh bilang hotel-hotel BUMN tidak prolesional, tapi itu sudah pasb bukan manajemen kami," kata Nelly Saint Ange, Manajer Pemasaran Percot. Suasana cerah tampak juga di wajah Wahono, General Manager Motel Gunung Sari Patra Jasa (GSPJ) Surabaya. Dengan memasang tarif Rp 77-162 ribu per malam, tingkat hunian di GSPJ rata-rata mencapai 75% dari 63 kamar yang ditawarkan. "Hotel kami memang tidak termasuk mewah, tapi eksklusif," kata Wahono. Maksudnya, selain memiliki berbagai sarana olahraga -- lapangan tenis, pusat kebugaran, dan bowling center -- lokasi GSPJ berdampingan dengan sebuah padang golf. Tak diketahui bagaimana kondisi bisnis enam hotel lainnya, yang tersebar di Cirebon, Anyer, Bandung, Jakarta, Semarang, dan Prapat. Tapi, kalau dilihat dari laba tahun lalu (hanya Rp 2 milyar), tampaknya ada beberapa hotel yang merugi. Begini perhitungannya. Katakanlah, laba Percot sama dengan yang diperoleh GSPJ -- menurut Wahono, 35% dari total sales. Maka, labanya tidak akan kurang dari Rp 4,655 milyar. Ditambah dengan keuntungan minimal GSPJ -- diduga sekitar Rp 480 juta -- maka dari kedua hotel itu saja seharusnya Patra bisa mengeruk Rp 5 milyar lebih. Namun, menurut Tobing, untung tahun lalu hanya Rp 2 milyar. Lalu ke mana yang Rp 3 milyar lagi, kalau bukan untuk menombok hotel yang rugi?Budi Kusumah, I Made Suarjana, Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini