Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Taksonomi Hijau OJK dan Kritik Masyarakat Sipil

Masyarakat sipil mengkritik Taksonomi Berkelanjutan Indonesia (TBI) yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

9 Desember 2023 | 08.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi OJK / Otoritas Jasa Keuangan. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat sipil mengkritik Taksonomi Berkelanjutan Indonesia (TBI) yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal 2022 terhadap pembiayaan hijau yang diharapkan memiliki kredibilitas dan transparansi. Kritik mengacu pada urgensi taksonomi hijau, implementasi keuangan berkelanjutan, dan peran masyarakat sipil dalam mengawalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, menyoroti implementasi Taksonomi Berkelanjutan Indonesia (TBI) Linda membahas hasil uji coba taksonomi hijau yang telah dilakukan oleh OJK pada Juni 2022. Uji coba ini melibatkan 17 bank dengan total baki debet mencapai Rp 1.521 triliun. Hasilnya menunjukkan bahwa 72 persen dari total pembiayaan, atau Rp 1.065 triliun, teridentifikasi sebagai investasi merah dan kuning, sementara investasi hijau masih sangat rendah dibandingkan dengan kedua kategori tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dari Rp 1.521 triliun itu yang teridentifikasi ada 70 persen, yaitu Rp 1.065 triliun, dari situ ternyata 72 persennya atau Rp 771,03 triliun itu penyaluran pembiayaan didominasi investasi merah dan kuning, kalau kita asumsikan itu ya 72 persen itu sama seperti yang belum teridentifikasi,” Linda menjelaskan paparannya, dalam diskusi media ResponsiBank Indonesia, membahas Taksonomi Berkelanjutan Indonesia: Kritik Masyarakat Sipil untuk Pembiayaan Hijau yang Kredibel dan Transparan, di Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis, 7 Desember 2023.

Menurutnya, total ada Rp 1000 triliun pembiayaan yang disalurkan kepada investasi di merah dan kuning. Ini sangat besar jika bandingkan dengan investasi di klasifikasi hijau. Dalam konteks kualitas kredit, terungkap bahwa kredit-kredit yang terklasifikasi sebagai merah dan kuning memiliki tingkat Non Performing Loan (NPL) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kredit hijau. Hal ini menunjukkan risiko keuangan di sektor ekonomi hijau lebih rendah dibandingkan sektor lainnya. 

“Yang paling bermasalah itu yang bila kita melihat dari Non Performing Loan (NPL) kuning dan merah itu lebih tinggi ketimbang yang hijau yang hijau. itu ada 0,81 persen NPL-nya,” Linda melanjutkan. 

Dalam diskusi tersebut, Linda juga mengangkat isu tentang rendahnya pengungkapan aspek lingkungan oleh bank-bank KBMI 3, KBMI 4, dan bank asing. Meskipun terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, menurutnya aspek lingkungan tetap menjadi yang paling rendah dibandingkan dengan aspek ekonomi, sosial, dan tata kelola. Linda menyoroti kurangnya pemahaman atau ketidakmampuan bank dalam mengimplementasikan aspek lingkungan. “Dari 37 bank ini kami lihat aspek lingkungan itu yang paling rendah pengungkapannya meskipun memang dari tahun 2019 ke 2020 ke 2021,” 

Lebih lanjut, Linda juga menambahkan bahwa pada saat peluncuran Taksonomi Hijau Indonesia (THI) edisi 1, pemerintah mencabut ribuan izin konsesi pada awal 2022, termasuk izin usaha tambang, kehutanan, dan hak guna usaha. Menurutnya, kategori merah tidak mungkin dihilangkan dalam pemutakhiran taksonomi saat izin-izin usaha yang mencurigakan tetap beroperasi secara ilegal. 

Empat poin masukan terhadap pemutakhiran taksonomi hijau juga disampaikan. Pertama, perlunya klasifikasi usaha yang terdiri dari merah, kuning, dan hijau sebagai dasar untuk evaluasi keberlanjutan. Kedua, taksonomi hijau harus menjadi kewajiban agar sejalan dengan komitmen iklim global, terutama dalam konteks COP28 (Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-28) yang sedang berlangsung. Ketiga, Linda menjelaskan, jika taksonomi ini wajib perlu diberlakukan pembatasan pembiayaan atas klasifikasi aktivitas ekonomi merah, kuning, dan hijau, bahkan dengan pembuatan daftar hitam oleh OJK. Selanjutnya, implementasi taksonomi hijau tidak bisa dilakukan sendiri oleh OJK dan memerlukan partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah.

Kritik dan masukan yang konstruktif dari masyarakat sipil mendesak OJK untuk melibatkan lebih banyak pihak dalam mengimplementasikan taksonomi hijau Indonesia yang sesuai dengan komitmen iklim dan keberlanjutan.





Adinda Jasmine

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus