Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KCI menargetkan tujuh rangkaian kereta tambahan dapat beroperasi pada 2025.
Jumlah penumpang seluruh commuter line bakal menembus 345 juta orang.
Peneliti transportasi menyoroti belum adanya standar dan aturan retrofit kereta.
JAKARTA — PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI) menargetkan penambahan tujuh rangkaian kereta rel listrik (KRL) pada 2025. Armada tersebut terdiri atas tiga rangkaian kereta baru buatan CRRC Sifang serta dua rangkaian kereta baru dan dua rangkaian kereta retrofit alias peremajaan buatan PT Industri Kereta Api (Inka). Penambahan armada itu penting untuk menampung jumlah penumpang commuter line di berbagai daerah yang terus tumbuh.
PT KCI memprediksi jumlah penumpang seluruh Commuter Line (CL) bakal mencapai 345 juta orang pada 2024 dan 410 juta orang pada 2027. Saat ini KCI mengoperasikan lima CL, yakni CL Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi; CL Merak; CL Bandara Soekarno-Hatta; CL Yogyakarta-Palur; dan CL Prameks.
Untuk memenuhi kebutuhan armada, pada 31 Januari 2024 KCI telah menekan kerja sama pengadaan tiga rangkaian kereta baru dengan CRRC Sifang. Sebelumnya, KCI juga sudah meneken kontrak retrofit 19 rangkaian kereta dan pengadaan 16 rangkaian kereta baru dengan PT Inka. Program pengadaan kereta yang dimulai pada 2023 hingga 2027 tersebut menelan biaya Rp 6,84 triliun.
Antisipasi Keterlambatan Retrofit
Penumpang menaiki kereta commuter line di Stasiun Kebayoran, Jakarta, 9 Desember 2023. Dok. TEMPO/Magang/Joseph
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Perusahaan KCI Anne Purba berharap proses pengiriman semua kereta berjalan tepat waktu. Jika pengiriman kereta retrofit terlambat, kata dia, KCI akan membeli delapan rangkaian kereta baru lagi. Penambahan delapan rangkaian ini diprediksi membuat anggaran pengadaan membengkak sebesar Rp 9 triliun. “Kami akan melihat dulu bagaimana proses retrofit berjalan. Untuk memitigasi keterlambatan, persiapan pengadaan delapan rangkaian sudah dimulai," ujarnya, Selasa, 6 Februari 2024.
Pada tahun lalu, ucap Anne, KCI sudah mengirim empat rangkaian kereta ke pabrik Inka di Banyuwangi, Jawa Timur, untuk diremajakan. KCI menginginkan setidaknya dua rangkaian hasil retrofit sudah siap beroperasi pada 2025. Dengan begitu, KCI akan dapat mengirim 11 rangkaian kereta lagi ke Inka untuk program peremajaan selanjutnya.
Pekerjaan peremajaan kereta membutuhkan waktu 15 bulan dan biaya Rp 117,6 miliar per rangkaian yang terdiri atas 12 kereta. Untuk keseluruhan pekerjaan, KCI harus membayar sekitar Rp 2,23 triliun kepada Inka. Inka menjanjikan kereta hasil retrofit akan memiliki kualitas seperti kereta baru. Dengan begitu, kereta-kereta milik KCI yang rata-rata berusia lebih dari 45 tahun dapat kembali digunakan selama 19 tahun ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anne menuturkan pengadaan kereta baru dari Inka diperkirakan selesai pada akhir 2025 atau awal 2026. Dia memastikan KCI akan melakukan pengawasan secara berkala terhadap semua proses produksi kereta, baik itu kereta baru impor, kereta retrofit, maupun kereta baru buatan dalam negeri.
Bergantung pada Modal Negara
Sementara itu, untuk keperluan pengadaan armada periode 2023-2027, KCI mengajukan pinjaman Rp 3,5 triliun kepada bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) dan mendapatkan bantuan utang dari induk usahanya, yakni PT KAI (Persero), sebesar Rp 800 miliar. Adapun sisa kebutuhan biaya akan diperoleh dari penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 5-5,5 triliun selama tiga tahun. “Pada tahun ini dan tahun depan kami mengharapkan PMN masing-masing sebesar Rp 2 triliun,” kata dia.
Guru besar transportasi dari Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, meminta KCI menggunakan dana PMN secara cermat karena jumlahnya yang tidak sedikit. Dia menyebutkan KCI perlu memastikan harga dan kualitas kereta yang dibeli selalu kompetitif agar syarat pengadaan produk dari pemanfaatan PMN terpenuhi.
Sutanto menyatakan kereta bikinan Inka tak akan sepenuhnya menggunakan komponen dalam negeri. Beberapa komponen utama, seperti perangkat roda alias bogie, propulsi atau sistem penggerak kereta, sistem pengereman, serta kelengkapan elektrifikasi dan sistem komunikasi, masih akan mengandalkan produk impor.
Dia mengharapkan Inka mampu membangun kereta yang terintegrasi. Kemampuan tersebut diperlukan agar Inka memiliki daya saing dan lebih mandiri sebagai produsen kereta. Menurut Sutanto, jika Inka belum mampu membangun keseluruhan sistem kereta, harus ada pendampingan dari industri manufaktur kereta yang berpengalaman untuk alih teknologi dan pengendalian mutu.
Belum Ada Standar Retrofit
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, menyoroti belum adanya standar dan aturan retrofit kereta. Dia meminta pemerintah merumuskan standar retrofit agar keselamatan penumpang tetap terjaga. Sedangkan untuk pengadaan kereta baru, dia mengingatkan Inka supaya belajar dari kasus kegagalan kereta tipe i9000 atau KfW beberapa tahun lalu. Kereta buatan Inka itu sempat mengalami gangguan pada sistem perapian dan elektrifikasi yang menyebabkan pasokan listrik turun.
Peneliti BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan posisi Inka masih di belakang produsen kereta kelas dunia asal Cina dan Jepang dalam hal penguasaan teknologi. Untuk menyamai kemampuan kedua negara tersebut, dia menyarankan pemerintah melakukan investasi besar di bidang riset, inovasi, dan kualitas sumber daya manusia. Toto berharap Inka dapat memanfaatkan kesempatan dari pengadaan kereta dari KCI untuk membuktikan kualitas produknya.
Dia mengakui kemampuan produksi PT Inka tidak juga bisa dipandang entang. Sejak 2020, perusahaan tersebut sudah membangun usaha bersama (joint venture) dengan produsen kereta api asal Swiss, Stadler, untuk memproduksi kereta berpenggerak. Pengalaman bersama Stadler, kata dia, akan membawa manfaat dalam hal alih teknologi, berupa pengiriman karyawan Inka ke Swiss dan penempatan tenaga ahli Stadler di pabrik Inka di Banyuwangi. Pabrik hasil usaha bersama itu membuat kereta untuk segmen komersial menengah ke atas, seperti Taiwan dan Singapura.
ALI AKHMAD NOOR HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo