SEPULUH tahun lagi, orang akan melihat sebuah kompleks perhotelan raksasa di Jakarta. Masih berhampiran dengan kawasan "segitiga emas", tepatnya di ujung Jalan Jenderal Sudirman, tembus sampai ke Jalan Senopati, Kebayoran Baru. Di sana juga akan ada bendungan buatan, yang di atasnya akan "terapung" sebuah hotel bintang lima. Di sekeliling hotel tadi, dibangun pula rumah-rumah susun, untuk penduduk yang tergusur. Belum lagi gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan. Paling tidak, US$ 2,7 milyar akan terisap ke dalam proyek raksasa ini. Lahan yang ditempati tidak tanggung-tanggung, sekitar 40 ha. Begitu luasnya, sampai Sofyan Wanandi menyatakan keheranannya. Soalnya, apa masih ada lahan kosong seluas 40 ha di kawasan paling mahal di Jakarta? Dan jangan lupa, satu meter persegi tanah di sini harganya sudah Rp 3 juta. Lahan kosong 40 hektare itulah yang kini jadi buah bibir. Dua pekan lalu, pembelian tanah seluas itu disepakati dalam rapat umum luar biasa, PT Jakarta International Hotel, yang selama ini dikenal sebagai pemilik Hotel Borobudur. Mereka membelinya dari PT Danayasa Arthatama, sebuah perusahaan patungan antara Yayasan Kartika Eka Paksi, yang diketuai Kasad Jenderal Edi Sudradjat, dan beberapa pengusaha. Untuk sekadar lebih rinci, perlu ditambahkan bahwa Yayasan Kartika Eka Paksi menjadi pemegang saham mayoritas Danayasa, dengan menguasai 40 persen saham. Pemilik mayoritas lain adalah Tommy Winata, dengan 30 persen saham. Sebenarnya, kesepakatan jual-belinya sendiri sudah diteken Agustus lalu. Tapi prosesnya panjang dan berbelit. Maklum, harga tanah 40 ha itu US$ 650 juta. Karena transaksi ini begitu besar, sepanjang proses pembelian, JIH meminta perdagangan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dihentikan sementara sejak 31 Juli lalu. "Untuk mencegah orang 'main-main' di situ," kata H. Jusuf L. Indradewa, Presiden Direktur JIH, kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Selain nilainya yang raksasa, jual-beli ini jadi istimewa karena "akal-akalan" untuk bertransaksi telah membersitkan kelihaian dan kecanggihan. Sebenarnya, yang dibeli JIH bukanlah tanah, melainkan PT Danayasa Arthatama sendiri. Soalnya, perusahaan itu tidak mempunyai aset lain. Sebagai gantinya, para pemilik Danayasa tidak diberi uang tunai, tapi diberi imbalan berupa saham PT JIH. Untuk itulah JIH akan menerbitkan 99 juta saham baru yang akan diserahkannya kepada para pemilik Danayasa. Karena tanah itu seharga Rp 1,2 trilyun lebih, selembar saham JIH jatuh pada harga Rp 12.500. Dan ini tergolong mahal, khususnya jika dibanding harga saham lama JIH di bursa Jakarta yang Rp 14.500. Kesimpulan mahal itu diperoleh karena dengan bertambahnya 99 juta saham baru, tentu keuntungan per saham JIH jauh merosot. Dividen yang akan diterima juga bisa tersunat habis. Sebaliknya, JIH punya aset baru yaitu tanah senilai Rp 1,2 trilyun tadi. "Berarti saya yang pintar, dong, bisa pasang harga segitu," kata Jusuf. Penerbitan 99 juta saham baru akan dilepas secara bertahap. Langkah pertama, JIH menerbitkan surat utang alias claim warrant untuk Danayasa. Baru tahun depan surat utang ini bisa dikonversikan menjadi 10 persen saham baru. Jusuf menganggapnya sebagai panjar. Tindakan ini juga bisa dinilai pantas. Alasannya, tanah Danayasa belum sepenuhnya beres. Dari 40 ha, baru 9,4 ha tanah yang sudah bersertifikat. Tapi Danayasa berani menjamin, pertengahan tahun depan semuanya akan beres. "Sejak tahun lalu, kami sudah mengajukan permohonan pembebasan tanah ini," kata Nasrul, Direktur Utama Danayasa. Selain soal pembebasan, Danayasa juga terikat peraturan. Sebagai perusahaan real estate, Danayasa tidak diperbolehkan menjual tanah yang mestinya menjadi modal utama. Itu sebabnya, PT JIH tidak membeli tanah, melainkan mengakuisisi atau mengambil alih Danayasa. "Jadi, tak perlu ada balik nama, dan Danayasa tidak melanggar peraturan," Nasrul menambahkan. Jika urusan hukum dan perizinan Danayasa sudah beres, Desember nanti JIH akan menyerahkan 45 persen lagi saham barunya pada Danayasa. Tahap terakhir, jika tanah sudah dibebaskan, barulah sisa 45 persen terakhir diserahkan. Itu dijadwalkan Juni tahun depan. Pertanyaan yang otomatis timbul adalah bagaimana jadinya posisi para "mantan" pemilik Danayasa, yakni Yayasan Kartika Eka Paksi. Jika 99 juta saham sudah diserahkan semua, mereka akan menguasai 79,9 persen saham JIH. Jelas, posisi yang sangat menguntungkan. Untuk membuatnya jadi "adil", kedua pihak sepakat bahwa "mantan" pemilik Danayasa harus menjual kembali sebagian saham baru yang dimilikinya, kepada JIH, dengan perbandingan 1:1. Harganya juga harus pas Rp 12.500. Saham yang dikuasai pemegang saham lama JIH adalah 25 juta lembar, berarti "mantan" pemilik Danayasa harus rela menjual 25 juta saham barunya. Nyatanya, selain 25 juta saham tadi, para "mantan" pemilik Danayasa juga sudah sepakat akan menjual lagi 11 juta sahamnya. "Kalau pemegang saham lama tak berminat, mereka bisa menjualnya kepada siapa saja," kata Thomas Welford, Sekretaris Perusahaan JIH. Jika skenario kesepakatan berjalan mulus, maka komposisi pemilikan saham JIH akan terbagi rata. "Tak ada satu pun yang menguasai lebih dari seperempat," tutur Jusuf. Saat itu, Yayasan Kartika Eka Paksi menjadi pemegang saham terbesar dengan 21 persen. Tommy Winata menguasai 15 persen. Andil Departemen Keuangan akan menjadi sekitar 7 persen. Sekarang, tinggal bagaimana JIH memanfaatkan tanah itu. Perusahaan yang akan menambah namanya menjadi PT Jakarta International Hotel & Development ini mengaku tak akan susah mencari duit. "Ada tiga pemegang saham lama yang sudah siap dengan dana," tutur Jusuf. Yang ia maksud adalah Bank Dagang Negara, International Finance Corporation, dan Bank Societe Generale dari Prancis. Bravo! YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini