Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Bank penerbit kartu elektronik akan menggunakan pendapatan dari tarif isi ulang (top up fee) untuk beban perawatan infrastruktur pembayaran non-tunai. Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Santoso Liem, mengatakan selama ini bank menanggung biaya perbaikan jaringan dan alat pembaca kartu. "Rata-rata biaya per tahunnya cukup besar, karena butuh upgrade dan perbaikan setelah digunakan secara masif," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Menurut Santoso, bisnis uang elektronik tidak menguntungkan, tapi dapat mempermudah masyarakat untuk bertransaksi. Hingga kini, BCA masih menunggu keputusan Bank Indonesia sebelum membebankan biaya isi ulang kartu Flazz. Santoso yakin pengenaan biaya ini tidak akan menurunkan jumlah transaksi non-tunai. "Biayanya cuma per satu kali top-up (isi ulang). Yang penting jangan membebani masyarakat," ujar dia.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Rohan Hafas, mengatakan pendapatan dari biaya isi ulang akan dimanfaatkan untuk investasi mesin electronic data capture (EDC) dan kartu. Bank Mandiri telah mengenakan biaya untuk isi ulang melalui aplikasi Android pada telepon seluler. Pemegang kartu Mandiri Debit dikenai biaya isi ulang Rp 2.000, sedangkan pemegang kartu debit bank lain dikenai biaya Rp 4.000 per transaksi.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memastikan aturan pungutan isi saldo uang elektronik terbit akhir bulan ini. Menurut dia, peraturan ini dikeluarkan untuk mengakomodasi kebutuhan bank dalam investasi penyediaan uang elektronik, teknologi, dan perawatan alat. "Kami akan atur batas maksimumnya. Biaya ini tidak akan membebani konsumen secara berlebihan," kata Agus saat ditemui di Serang, pekan lalu.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman Zainal, mengatakan Dewan Gubernur masih mematangkan penetapan sistem pungutan isi saldo di anjungan tunai mandiri (ATM) atau merchant.
Namun banyak kalangan yang memprotes rencana pungutan ini, salah satunya melalui jaringan petisi daring change.org. Dalam petisi berjudul "Tolak Wacana Isi Ulang e-Money", masyarakat menilai pungutan ini akan menghambat program Gerakan Nasional Non-Tunai yang dicanangkan Bank Indonesia pada Agustus 2014. Pembebanan biaya isi ulang kepada masyarakat juga diyakini akan memperlambat target transaksi non-tunai di jalan tol. PT Jasa Marga (Persero) mengatakan penggunaan uang elektronik di jalan tol baru 33 persen dari target 100 persen pada akhir Oktober.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyatakan kebijakan Bank Indonesia berseberangan dengan pengembangan ekonomi digital. Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menilai pungutan tersebut lebih menguntungkan bank. "Tidak pantas konsumen diberikan disinsentif. Justru dengan model e-money, konsumen layak mendapatkan insentif," kata Tulus. Dia meyakini bank dapat menggali pendapatan untuk ongkos perawatan infrastruktur melalui perputaran dana simpan-pinjam atau bisnis yang lain. YOHANES PASKALIS | HENDARTYO HANGGI | PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo