Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tekor Anggaran di Tahun Berjalan

Keuangan negara babak-belur di tengah jalan. Penyusunan anggaran yang kurang matang jadi salah satu penyebab.

20 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERHITUNGAN Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk mengurangi anggaran sudah matang. Sejumlah proyek infrastruktur besar yang semula digadang bisa berjalan tahun ini satu demi satu masuk ke keranjang tundaan. Di antaranya rencana groundbreaking proyek kereta Trans Papua sepanjang 1.550 kilometer. "Proyek ini tidak mendesak untuk dikerjakan sekarang," kata Jonan ketika dijumpai di kantornya, Rabu pekan lalu.

Langkah serupa diikuti oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sekretaris Jenderal Kementerian Taufik Widjoyono sudah merevisi beberapa target pembangunan dan mencatat beberapa proyek yang masuk daftar penangguhan. "Sudah kami exercise dan akan kami sampaikan ke DPR untuk persetujuan," ujar Taufik. Umumnya, kata dia, proyek tahunan yang belum terkontrak.

Dua kementerian ini memang tidak bisa mengelak untuk memangkas belanja. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang penghematan dan pemotongan belanja kementerian mendorong sejumlah kementerian melakukan bongkar-pasang anggaran dan program.

Kementerian Pekerjaan Umum terkena imbas paling besar. Dari semula Rp 104 triliun, kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono ini harus berhemat Rp 8,4 triliun. Dari angka itu, sekitar Rp 4,9 triliun dipotong dari anggaran Direktorat Jenderal Bina Marga. Akibatnya, banyak proyek pemeliharaan dan pembangunan jalan tertunda.

Adapun kementerian yang dipimpin Jonan agak berbeda. Aturan presiden hanya meminta Kementerian Perhubungan berhemat Rp 3,7 triliun. Tapi Jonan malah memangkas target belanjanya sampai Rp 5,5 triliun. "Sebagai menteri teknis, saya membangun berdasarkan kebutuhan," Jonan memberikan alasan.

Jonan dan Basuki berjuang keras menekan pengeluaran di sisa tahun berjalan. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, tanpa adanya penghematan, keuangan negara bakal tekor. Hitungannya, kata dia, minus Rp 90 triliun tahun ini.

Penyebab babak-belurnya kas negara ini, kata Bambang, antara lain turunnya harga komoditas seperti minyak dan gas. Akibatnya, terdapat shortfall penerimaan pajak hingga lebih dari Rp 200 triliun.

Pemotongan belanja kementerian, kata Bambang, hanya salah satu siasat mengakali defisit uang kas. Siasat lain adalah menambah utang serta pemberlakuan undang-undang pengampunan pajak atau tax amnesty. Dengan tax amnesty, Bambang optimistis bisa meraup tambahan penerimaan negara setidaknya Rp 165 triliun.

Langkah Bambang menyelamatkan keuangan negara ini menuai kritik dari kalangan ekonom. Lana Soelistianingsih dari Samuel Aset Manajemen menilai pemotongan belanja dan penerapan tax amnesty adalah jalan pintas yang tak akan optimal menghindari defisit.

"Salahnya itu sejak mula ada di perencanaan. Kalau itu tak dibenahi, hasilnya akan sama saja," katanya.

Lana mengatakan kondisi keuangan negara yang babak-belur sebenarnya sudah diprediksi bakal terjadi sejak awal tahun. Pemerintah, kata dia, terlalu optimistis memasang target penerimaan dan asumsi makro. Saat memasang target penerimaan pajak untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, misalnya, pemerintah mematok berdasarkan target pajak 2015. "Bukan berdasarkan angka realisasi yang sebenarnya meleset dari target," ujarnya.

Belum lagi dalam penetapan asumsi. Menurut Lana, asumsi harga minyak, produksi minyak dan gas, hingga pertumbuhan ekonomi sangat jauh dari realitas. Penyusunan anggaran di kementerian juga sama. "Semua berasumsi tiap tahun anggaran pasti harus naik padahal penyerapan tak selalu tercapai," ujarnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengkritik hal yang sama. Dia mengatakan inti masalah ada di perencanaan APBN yang tidak memperhatikan fakta bahwa ekonomi global sedang mengalami fase perlambatan. "Harga-harga komoditas turun," kata Prastowo. Sedangkan sumber utama pendapatan negara belum ada penggantinya.

Perlambatan, kata Prastowo, sudah terbaca sejak 2012, ketika harga batu bara mulai merosot. Fenomena itu disusul harga minyak mentah. Menurut dia, pemerintah semestinya mulai memikirkan skema pengembangan industri lain untuk menopang pendapatan negara pada tahun-tahun mendatang.

Menurut Prastowo, pemerintah tetap mematok pertumbuhan yang tinggi di tengah lesunya kondisi ekonomi. Pemerintah, kata dia, juga berlomba mematok target pembangunan infrastruktur tapi melupakan stimulus dan insentif di sektor investasi. Agar pembangunan terlihat bisa berjalan, pemerintah menaikkan target pajak dengan segala optimismenya.

Kelemahan pemerintah dalam merancang struktur anggaran dan belanja negara secara tak langsung diakui oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara. "Pada awal tahun sudah terlihat risiko APBN. Jadi perlu kami sesuaikan agar bujet lebih realistis," kata Suahasil saat dijumpai Tempo pada April lalu.

Risiko yang paling terlihat, menurut dia, adalah harga minyak. APBN mematok di angka US$ 50 per barel, sementara harga pasar tak pernah lebih dari US$ 35 per barel. Karena itu, kata Suahasil, pemerintah sudah menyiapkan skenario untuk menyelamatkan keuangan negara.

Ia mengakui salah satu opsi yang dipertimbangkan pemerintah untuk menghindari defisit adalah memberlakukan tax amnesty. "Ini terobosan luar biasa," katanya.

Lana mengkritik upaya pemerintah mengandalkan pengampunan pajak. Menurut dia, penerapan kebijakan itu seharusnya diperlakukan sebagai bonus bagi tambahan kas negara. "Semestinya pemerintah lebih fokus pada upaya jangka panjang," ujarnya. Prastowo menyarankan pemerintah mengubah perancangan anggaran.

Gustidha Budiartie, Andi Ibnu Rusli, Khairul Anam, Agus Supriyanto

Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Indikator2015 (Realisasi)APBN 2016RAPBN P 2016
Pertumbuhan ekonomi4,8 %5,35,3
Inflasi3,4%4,74,0
Harga minyak (per barel)US$ 49US$ 50US$ 35-45
Lifting minyak (barel per hari) 778830810
Nilai tukar (Rp/US$)13.39213.90013.500

Pemangkasan Belanja Menurut Inpres Nomor 4 Tahun 2016
1. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat: Rp 8,4 triliun dari Rp 104 triliun.
2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Rp 6,5 triliun dari Rp 49,2 triliun.
3. Kementerian Pertanian: Rp 3,9 triliun dari Rp 31,5 triliun.
4. Kementerian Perhubungan: Rp 3,7 triliun dari Rp 48,4 triliun.
5. Kementerian Kelautan dan Perikanan: Rp 2,8 triliun dari Rp 13,8 triliun.
6. Kementerian Pertahanan: Rp 2,8 triliun dari Rp 99,4 triliun.
7. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi: Rp 1,9 triliun dari Rp 40,6 triliun.
8. Kementerian Sosial: Rp 1,5 triliun dari Rp 14,6 triliun.
9. Kepolisian Negara Republik Indonesia: Rp 1,5 triliun dari Rp 73 triliun.
10. Kementerian Keuangan: Rp 1,4 triliun dari Rp 39,2 triliun.

Perbandingan APBN 2016 dan RAPBN-P 2016APBN RAPBN-P
1.Pendapatan Negara (dalam triliun)Rp 1822,5Rp 1734,5
Penerimaan perpajakan Rp 1546,7Rp 1527,1
Penerimaan negara bukan pajak Rp 237,8Rp 205,4
Penerimaan tax amnesty Rp - Rp 165
2.Belanja Negara (dalam triliun) Rp 2095,7Rp 2047,8
1.Belanja pemerintah pusat Rp 1325,6Rp 1289,5
1.1Belanja K/L Rp 784,1Rp 743,5
1.2Belanja non-K/L Rp 541,4| Rp 546
2.Transfer ke daerah dana desaRp 770,2Rp 758,3
Sumber: Kementerian Keuangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus