PENGAMPUNAN pajak hakikatnya merupakan pengakuan dosa seseorang atau badan usaha tertentu pada pemerintah. Pintu pengampunan dibuka karena wajib pajak, di masa lalu, telah berbuat dosa: menyampaikan laporan pajak secara tidak benar - kurang dari seharusnya. Belakangan, kesempatan itu dibuka pula untuk seseorang atau badan usaha yang sama sekali belum bayar pajak - kendati seharusnya sudah jadi wajib pajak. Kata Dirjen Pajak Salamun A.T., pengampunan ini tidak hanya diberikan untuk jenis Pajak kekayaan (PKk). Tapi juga untuk Pajak Pendapatan (PPd) badan usaha: Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalty Menghitung Pajak 0rang (MPO) Wajib Pungut PPd buruh dan Pajak Penjualan (PPn). Jadi, katanya, pengampunan itu merupakan satu paket. Yang akan dilihat dalam permintaan pengampunan itu adalah keadaan terakhir kekayaan seseorang atau badan usaha, yang mungkin sebagian berasal dari penyelundupan PPd atau PPn. Dengan cara begini, baik wajib pajak maupun pemerintah tidak perlu terlalu repot mengusut, misalnya, berapa seseorang kurang dalam membayar PPd dari seharusnya karena menyampaikan laporan tidak benar. "Jadi, yang kami lihat muaranya saja," ujar Salamun. "Kami tidak menghitung berapa sungai kecil yang masuk ke sungai besar, sebab akan repot." Nah, supaya pengamatan pemerintah di muara itu cermat, saat pengukuran keadaan kekayaan terakhir itu ditetapkan pada setiap tanggal 1 Januari. Bagaimana persisnya liku-liku pengampunan pajak itu, berikut ini tanya-jawab wartawan TEMPO Eddy Herwanto dengan Dirjen Salamun. Tidak semua orang bisa memahami formulir pengampunan pajak. Supaya tidak salah isi, bagaimana sebaiknya? Di negeri kita, wajib pajak sesungguhnya masih bisa mengisi sendiri formulir itu, asal dipelajari secara baik. Bagi wajib pajak yang baru sama sekali, dan yang akan bayar pajak besar, kami anjurkan memakai konsulen pajak. Sebab, kalau keliru mengisi, hukumannya berat. Sayang, pemakaian konsulen pajak di sini belum memasyarakat. Akan baik sesungguhnya kalau ada konsulen pajak mau memberikan jasa penerangan dengan biaya murah kepada wajib pajak kecil di samping, tentu, penerangan dari inspeksi pajak sendiri. Apakah ada kemungkinan harta seperti rumah, perhiasan, atau tanah yang tak disebut dalam formulir pengampunan Pajak Kekayaan akan diketahui petugas pajak? Kalau pembelian rumah itu lewat real estate, Memang tidak bisa 100% cepat diketahui. Tapi, secara berangsur nantinya, pembelian rumah itu datanya akan diberikan pada pihak pajak. Dari Ipeda kami juga akan menerima laporan. Pendeknya, data-data didapat dari titik-titik paling strategis, seperti kelurahan dan kecamatan. Juga dalam soal hak kuasa mutlak atas tanah, yang diberi kuasa akan kami tanya. Memang ada orang yang punya kegemaran main kucing-kucingan. Lebih baik terbuka saja. Secepat-cepatnya lari, kebohongan nanti akan terkejar juga oleh kebenaran. Apakah cukup wajar jumlah wajib Pajak Kekayaan hanya 58 ribu lebih? Pembayar PKk memang masih kurang. Tahun anggaran lalu mereka cuma memberikan sumbangan Rp 12,5 milyar. Jangan lupa, Pajak Kekayaan hakikatnya merupakan suplemen dari Pajak Penghasilan. Artinya, seseorang baru diwajibkan membayar PKk kalau yang bersangkutan punya sisa penghasilan cukup besar. Dengan kata lain, pajak ini dikenakan atas sisa konsumsi, yang mungkin telah diinvestasikan dalam bentuk rumah, mobil, tanah, maupun perhiasan. Jika pajak ini dipungut kelewat besar, mungkin malah akan mendorong orang berfoya-foya menghabiskan penghasilannya. Karena itu, PKk dipungut dalam batas masuk akal. Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat, apakah tidak mungkin mengumumkan nama-nama pembayar PKk terbesar di setiap kota? Tindakan itu se-ungguhnya mcrupakan suatu kehormatan bagi wajib pajak. Bukan hanya PKk saja, tapi juga Pajak Penghasilan orang pribadi maupun badan usaha. Cuma saja, menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 1983, kami dilarang memberitahukan hal ihwal wajib pajak. Kami bisa di hukum kalau memberitahukan data wajib pajak kepada pihak lain. Supaya bisa mengumumkan kepada pihak luar, kami harus minta izin dulu pada yang bersangkutan. Sebenarnya, kalau soal ini dimasukkan dalam UU bagus sekali. Bagaimana pengaturan tebusan bagi wajib pajak baru, yang sebelumnya belum pernah bayar PKk, misalnya? Tebusannya akan nol. Hanya saja, yang bersangkutan sebelumnya sudah harus memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Susulan, yang bisa diikuti dengan permohonan pengampunan pajak. Nah, selisih dari SPT Susulan dengan pengampunan itu akan nol. Akibatnya, tebusan nol pula. Tebusan sebesar itu hanya terbuka bagi wajib pajak yang sudah menyampaikan SPT pajaknya paling lambat 18 April, yang kemudian di undurkan hingga 31 Desember 1984, tapi isinya kurang lengkap, hina perlu membuat SPT Susulan. Benarkah permintaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) paling lambat 31 Desember 1984? Kalau seseorang sudah mcmenuhi syarat jadi wajib Pajak Pcnghasilan (PPh), maka orang itu harus punya NPWP, jadi harus bayar pajak tahun ini. Karena itu, dikatakan orang yang jadi wajib pajak. PPh itu harus punya NPWP selambat-lambatnya 31 Desember 1984. Kalau belum memenuhi syarat jadi wajib pajak PPh tahun ini, tapi baru 1985 nanti, minta NPWPnya ya nanti. Kewajiban memiliki NPWP ini tidak berlaku bagi scseorang yang PPh-nya dibayar melalui perusahaan - kecuali kalau yang bersangkutan sudah memenuhi syarat sebagai wajib pajak PKk. Kecilnya wajib pajak, dan uang pajak yang bisa dihimpun, apakah bukan karena aparat pajaknya masih kurang? Kalau ditanya pada aparat pajak. Jawabnya pasn kurang, sebab orang 'kan ingin kerja ringan. Tapi saya tak ingin cepat-cepat memenuhi keinginan itu, sebab rasio antara biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh di sini masih jelek. Di sini untuk mendapatkan pajak Rp 100, kami harus mengeluarkan biaya Kp 2,2. Sebaliknya, di negara maju, dcngan hasil pajak Rp 100, biaya yang dikeluarkan hanya Rp 0,025. Saya ingin melihat apakah aparat pajak yang ada kini masih bisa diefisienkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini