Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Steven tak berani memberi jaminan saat ditanya konsumennya soal harga semen. "Tiap hari bisa berubah," katanya saat ditemui di toko bangunan Sentosa, milik orang tuanya, yang ia kelola di Jalan Sentosa Raya, Depok, Jumat pagi pekan lalu. "Satu sak 50 kilogram semen merek Tiga Roda saya berani kasih harga Rp 59.500," ujar dia. "Itu hanya untuk hari ini. Besok bisa lain lagi."
Di toko bangunan ABC, yang hanya terpaut seratusan meter di ruas jalan yang sama, situasinya tak berbeda. "Rata-rata Rp 60 ribu per sak. Itu sudah naik berkali-kali sejak isu kenaikan harga bahan bakar minyak mulai ramai," Rita, si pemilik toko, menjelaskan. "Dua bulan lalu kami masih jual Rp 56 ribu satu sak 50 kilogram. Pembeli sering memprotes kenapa harganya naik terus."
Hal serupa dikatakan Yene, yang membuka toko Wira Utomo di Jalan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Untuk semen produksi PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk itu, Yene menjual seharga Rp 49 ribu per sak ukuran 40 kilogram. "Kami tidak jual merek lain. Sudah biasa begitu, tiap toko hanya jual dari satu pabrik," katanya. "Kalau distributor bilang naik, mau tak mau kami harus mengikuti."
Suara protes memang mulai muncul di sana-sini, dan bukan hanya dari para konsumen eceran. Para pengembang yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) adalah salah satu yang paling dulu berteriak. Mereka mengaku mulai kelimpungan akibat harga semen yang terus merangkak naik.
Teguh Satria, Ketua Badan Pertimbangan REI dan Ketua Federasi Real Estate Asia-Pasifik, mengatakan kenaikan harga semen memang tak seketika berpengaruh pada bisnis secara signifikan. "Strategi produsen adalah menaikkan sedikit demi sedikit. Hanya Rp 500-1.000 per sak setiap kali naik. Tapi itu dilakukan berulang-ulang dalam periode tertentu," katanya. "Kalau dihitung di ujung, naiknya besar juga. Membuktikannya memang susah, tapi praktek pengaturan harga itu sangat terasa."
Buat pengembang perumahan, semen memakan porsi sekitar separuh dari ongkos material bangunan. Bila biaya tanah, perizinan, promosi, dan pemasaran dimasukkan, besaran untuk semen ini masih berkisar 20 persen dari total biaya produksi. "Kalau harga semen naik 10 persen, kami harus menaikkan harga properti 2 persen," Teguh menjelaskan. "Pada saat yang sama, pemerintah mendesak agar kami lebih banyak membangun perumahan murah."
Di kantor pusat REI di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, keluhan dari para anggota itu ditampung. "Kami coba menyampaikan ini ke Kementerian Perumahan Rakyat," kata Setyo Maharso, Ketua Umum REI. "Kami belum akan menggugat atau memprotes lebih lanjut ke Asosiasi Semen Indonesia, karena bisa jadi kenaikan harga itu adalah permainan distributor. Saat ini kami masih menghimpun data-datanya."
Keluhan juga datang dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi). Bagi mereka, semen berada di posisi kedua setelah besi beton dalam komposisi biaya material. "Kami juga tak habis mengerti kenapa pemerintah membiarkan adanya disparitas harga semen yang begitu besar di setiap wilayah. Masyarakat di Papua yang punya daya beli lebih rendah terpaksa membeli semen dengan harga puluhan kali lipat lebih mahal," kata Ketua Umum Gapensi Soeharsojo.
Melalui Badan Pembinaan Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum, gabungan kontraktor ini juga mendesak pemerintah memanggil asosiasi produsen semen. "Kami tak melihat ada upaya bersama untuk mengatasi hal ini," Soeharsojo menambahkan. "Padahal pabrik semen terbesar, PT Semen Gresik, yang juga mengendalikan Semen Padang dan Tonasa, adalah milik pemerintah." Tapi, seperti halnya REI, Gapensi pun memilih menahan diri sebelum melayangkan gugatan legal.
Para pengusaha properti dan konstruksi ini tak ingin mengulang kekalahan yang mereka terima pada 2009-2010. Ketika itu mereka yakin bahwa permainan harga semen di pasar yang terus meroket terjadi akibat adanya kesepakatan jahat di antara para produsen semen. Gugatan dengan tuduhan praktek kartel itu kemudian diselidiki Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dugaan kartel itu diarahkan pada delapan perusahaan. Mereka adalah PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, PT Semen Baturaja Persero, PT Semen Gresik Persero Tbk, PT Lafarge Cement Indonesia (Semen Andalas), PT Semen Tonasa, PT Semen Padang, dan PT Semen Bosowa Maros.
Perusahaan-perusahaan itu dituding melakukan pengaturan harga dengan cara sengaja menurunkan produktivitas pabriknya dan membagi kaveling pasar bagi tiap produsen melalui sistem rayonisasi. Dengan hanya sebagian kapasitas produksi yang digunakan, maka akan terjadi kelangkaan semen di pasar dan akhirnya diikuti dengan kenaikan harga. Adapun rayonisasi dalam distribusi itu dilakukan untuk mencegah adanya persaingan harga antarprodusen di satu wilayah tertentu.
Setelah setahun berjalan, pada 18 Agustus 2010, Majelis KPPU yang diketuai Benny Pasaribu dengan anggota Tri Anggraeni dan Tadjuddin Noersaid menyatakan semua tuduhan itu tak bisa dibuktikan. Namun Komisi Pengawas merekomendasikan kepada pemerintah agar membubarkan Asosiasi Semen Indonesia (ASI), karena dianggap bisa memfasilitasi terjadinya pengaturan harga dan produksi. "Selanjutnya tugas dan fungsi ASI dapat ditangani oleh pemerintah," kata Benny Pasaribu dalam keputusannya saat itu.
Pengurus Asosiasi Semen Indonesia dan pemilik PT Semen Bosowa, Erwin Aksa, mengatakan praktek kartel seperti yang ditudingkan itu sudah terbukti tak ada. Menurut dia, yang terjadi sebenarnya adalah pasar semen yang terkesan dikuasai produsen tertentu di tiap wilayah itu merupakan akibat dari proses persaingan normal. "Itu terkait dengan lokasi pabrik dan biaya distribusi. Kami yang punya pabrik di Sulawesi jelas akan lebih banyak menggarap pasar di wilayah timur Indonesia," katanya.
Adapun kenaikan harga secara beruntun dalam beberapa bulan terakhir lebih banyak dipengaruhi oleh melonjaknya harga batu bara. Komposisi biaya terbesar dari produksi semen adalah untuk kebutuhan energi, yang sebagian besar dipenuhi dari pasokan batu bara. "Itu pula sebabnya kami sulit memenuhi desakan banyak pihak untuk membangun pabrik semen di Papua," kata Erwin.
Ia menjelaskan, pabrik semen baru akan mencapai skala ekonomis dengan kapasitas produksi 1,5 juta ton per tahun. Untuk itu diperlukan 30-40 megawatt listrik. "Di bagian mana di Papua yang bisa menyediakan listrik sebesar itu secara konsisten?" ia balik bertanya. "Belum lagi faktor pasar yang begitu menyebar. Jangan bandingkan dengan Jawa, yang masih jadi pasar utama semen dengan porsi 60-an persen," dia menambahkan. "Kami memang jual dengan harga mahal di Papua, tapi margin yang didapat sama saja. Habis untuk ongkos transportasi."
Juru bicara Lafarge Cement Indonesia, Henny Kusuma, mengemukakan hal senada. "Tidak ada praktek kesepakatan apa pun yang dilakukan Lafarge dengan produsen mana pun. Kami melakukan kompetisi usaha secara sehat," katanya.
Erwin mengakui adanya semacam pola seperti disampaikan Gapensi dan REI bahwa harga biasanya naik setiap menjelang Juli-Agustus. "Saat itu proyek-proyek pemerintah mulai jalan. Kebutuhan semen naik signifikan, sementara pasokan kurang. Harga pasti naik. Itu mekanisme pasar biasa," katanya. "Kebetulan para produsen terlambat melakukan ekspansi. Tapi bukan karena sengaja diatur."
Y. Tomi Aryanto
Permintaan, Produksi, Impor, dan Ekspor Semen Nasional (juta ton) | |||||||
  | 2005 | 2006 | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 |
Permintaan | 31,6 | 31,97 | 34,17 | 38,07 | 39,05 | 40,78 | 48 |
Produksi | 33,92 | 33,03 | 35,03 | 38,53 | 36,89 | 37,84 | 45,24 |
Impor | 1,05 | 1,28 | 1,41 | 1,53 | 1,38 | 1,6 | 1 |
Ekspor | 2,24 | 2,93 | 1,64 | 1,23 | 0,76 | 0,22 | 0,23 |
Porsi Penguasaan Pasar Semen Dalam Negeri 2011 | ||||||
Wilayah | Market Share (%) | |||||
  | Semen Gresik | Indocement (Tiga Roda) | Semen Cibinong/ Holcim | Bosowa | Lafarge (Andalas) | Semen Batu raja |
Jawa | 36,3 | 40,4 | 21,1 | 2,0 | - | 0,01 |
Sumatera | 42,6 | 15,9 | 11,5 | 2,0 | 16,0 | 12,0 |
Sulawesi | 60,9 | 13,4 | 0,9 | 25,0 | - | - |
Kalimantan | 48,5 | 28,4 | 13,5 | 10,0 | - | - |
Nusa Tenggara | 37,7 | 36,5 | 4,5 | 20,4 | - | - |
Bagian Timur Indonesia | 65,1 | 16,8 | 0,4 | 17,7 | - | - |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo