Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menertibkan Kebun Plasma

Kementerian Pertanian akan menertibkan perusahaan yang tidak membangun kebun plasma. Bisa diputihkan dengan kegiatan sosial.

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati hampir sepuluh tahun bermitra dengan perusahaan sawit PT Makin Group, asap dapur di rumah Lukman kadang-kadang saja mengepul. Hidup petani plasma asal Desa Telukraya, Kecamatan Kumpeh, Muarojambi, Provinsi Jambi, ini tetap pas-pasan. Sejak tandan sawitnya bisa dipanen pada 2008, penghasilan pria 35 tahun itu tak beranjak dari angka Rp 300 ribu saban bulan, dari sehektare lahan yang dikelolanya.

Nasib Amir Hamzah hanya sedikit lebih baik. Karib Lukman ini mengerjakan kebun plasma seluas tiga hektare. Dia bisa membawa pulang hampir sejuta rupiah tiap bulan, setelah dipotong berbagai angsuran. "Tidak cukup untuk hidup layak bersama istri dan tiga anak," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Lantaran kehidupan petani plasma yang memprihatinkan itu, pemerintah berencana memperbaiki pola kemitraan yang telah 20 tahun lebih berjalan. Program perkebunan inti rakyat atau PIR sebenarnya dimaksudkan untuk mengerek kesejahteraan penduduk di sekitar perusahaan perkebunan. Inti diminta membantu warga—sebagai plasma—dalam membudidayakan tanaman.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007, perusahaan perkebunan diwajibkan membangun kebun untuk masyarakat sekitar minimal 20 persen dari total luas kebun yang diusahakan. Pembangunan kebun plasma mestinya dilakukan bersamaan dengan kebun inti yang dikelola perusahaan.

Tapi kenyataannya jauh berbeda. Hasil audit sementara yang dilakukan Kementerian Pertanian pada Februari-Maret 2012 menunjukkan, dari 406 perusahaan pemegang izin usaha perkebunan di 22 provinsi di Indonesia, baru 61 perusahaan yang telah memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar. Luas lahan plasma itu hanya 85.242 hektare.

Padahal total rencana pengembangan kebun semua perusahaan mencapai 2,2 juta hektare. Adapun kebun plasma yang dibangun seharusnya sekitar 440 ribu hektare. "Artinya, plasma yang telah dibangun saat ini tak sampai 4 persen," kata Direktur Jenderal Perkebunan Gamal Nasir.

Beragam alasan dikemukakan pengusaha yang belum memenuhi kewajiban membangun kebun plasma. Salah satunya karena tidak ada lagi lahan yang bisa "dibagikan" kepada masyarakat. Soalnya, seluruh area yang bersertifikat hak guna usaha (HGU) telah diagunkan kepada bank. "Pembangunan kebun menggunakan pinjaman bank. Agunannya, ya, HGU itu," kata Gamal.

Perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan itu seharusnya dijatuhi hukuman. Sanksi yang diatur dalam pasal 38 peraturan menteri tidak main-main. Perusahaan yang memiliki izin usaha perkebunan, budi daya, atau pengolahan tapi tidak melaksanakan kewajiban akan diberi peringatan paling banyak tiga kali, masing-masing dalam tenggang empat bulan. Bila peringatan tidak diindahkan, izin akan dicabut dan diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut hak guna usaha.

Toh, Kementerian Pertanian tidak bisa mengeksekusi sanksi. Gamal menegaskan, kewenangan itu ada di bupati atau gubernur, sebagai pejabat yang memberikan izin usaha. "Yang mengeluarkan izin kepala daerah. Kewajiban mereka pula untuk mengawasi." Kebun untuk masyarakat, menurut Gamal, semestinya disiapkan sejak awal. Ketika bupati menerbitkan izin lokasi, 20 persen lahannya langsung "dipotong" untuk kebun rakyat.

Pelaksanaan ketentuan yang semrawut ini mendorong Kementerian Pertanian merevisi aturan. Tujuannya, kata Gamal, supaya tidak ada multitafsir, juga untuk menertibkan dan memperketat pengawasan. Urusan pembangunan kebun plasma, misalnya, pengusaha menafsirkan bukan di area HGU yang dimiliki, melainkan di luar lahan HGU, dengan luas yang setara dengan 20 persen. Tenggat perusahaan untuk membangun kebun rakyat juga akan dipertegas dalam revisi peraturan Menteri Pertanian. Peraturan baru itu rencananya akan terbit pada pekan pertama Mei, setelah dibahas bersama dengan para pemangku kepentingan.

Bagi perusahaan yang membangun kebun pada periode 2007-2012 dan belum menjalankan pola kemitraan, ada usul untuk menggantinya dengan kegiatan sosial, semacam corporate social responsibility atau CSR. Persoalannya, kata Gamal, kegiatan ini nilainya kecil, cuma sekian persen dari laba bersih. Karena itu, akan dipikirkan bentuk kegiatan yang nilainya setara dengan pembangunan kebun plasma. Pilihan lain, pemerintah daerah memberikan lahan tambahan untuk dijadikan kebun plasma. "Ada peluang seperti itu, bila daerah masih punya lahan," kata Gamal.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Fadhil Hasan mengatakan rancangan revisi peraturan Menteri Pertanian telah mengakomodasi usul pengusaha. Dalam rancangan sebelumnya, kata dia, perusahaan diwajibkan menjual saham untuk membangun kebun plasma. Pembangunan juga awalnya diusulkan dalam HGU perusahaan. "Ada usul lahan dari pemerintah daerah. Kalau lahan sudah tersedia, perusahaan tinggal membangun. Pembiayaannya juga bukan dari perusahaan, melainkan perbankan," kata Fadhil kepada Rosalina dari Tempo.

Satu hal yang belum disepakati pengusaha sawit: tenggat pembangunan kebun plasma 2-3 tahun. Gabungan pengusaha sawit mengusulkan jangka waktu disesuaikan dengan kesiapan perbankan memberikan kredit.

1 1 1

Ketua Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik Sawit Watch Jefri Saragih menegaskan, masyarakat sebenarnya tidak keberatan terhadap perusahaan sawit. Persoalan biasanya muncul berkaitan dengan pelepasan hak kelola tanah.

Awalnya perusahaan meminjam pakai lahan masyarakat adat untuk jangka waktu tertentu. Masyarakat setuju karena izinnya adalah pinjam. Dalam pemahaman mereka, nantinya tanah akan dikembalikan. Masyarakat mendapatkan kompensasi atas kehilangan hak kelola. Perusahaan berjanji membuat kebun plasma 3-4 tahun setelah kebun inti dibangun.

Sering kali lahan masyarakat yang dipinjam tadi dipakai untuk kebun inti. Adapun masyarakat memperoleh kebun plasma di wilayah yang jauh dari rumah mereka. Tapi ada yang sampai 3-4 tahun belum menerima kebun plasma.

Celakanya, lahan adat berubah menjadi HGU milik perusahaan yang tidak akan mungkin kembali ke masyarakat. Bila izin HGU habis, tanah akan dikembalikan kepada negara. Hal itulah yang memicu kekesalan warga, yang berujung pada unjuk rasa.

"Pintarnya perusahaan, berapa pun izin lokasi yang diperoleh, semua diajukan izin HGU," kata Jefri. Kasus Mesuji di Lampung adalah contoh nyata betapa konflik lahan berawal dari ketidakberesan pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional dalam mengatur kepemilikan lahan antara perusahaan dan rakyat.

Tak mengherankan bila di beberapa daerah muncul upaya untuk melepas hubungan kemitraan, seperti dilakukan Gusti Putu Sidiye, 52 tahun, petani sawit di Desa Marang, Kecamatan Pesisir Selatan, Lampung. Bersama sekitar 1.200 petani, Gusti sebelumnya bermitra dengan PT Karya Canggih Mandiri Utama di lahan 2.300 hektare. Penghasilan mereka hanya Rp 300-500 ribu per tiga bulan untuk kebun plasma seluas dua hektare.

Pendapatan Gusti masih dipotong cicilan utang Rp 6,4 juta sejak 1995. "Tiap bulan kami mencicil, tapi utang tak kunjung surut. Bahkan kami tidak tahu berapa utang kami sebenarnya," katanya.

Tatkala harga sawit melambung pada 2007, pendapatan petani justru turun. Maka muncul perlawanan petani untuk merebut kembali lahan yang dikuasai perusahaan. Padahal, kata Gusti, jika perusahaan transparan atas hasil panen, utang, hingga biaya produksi, pola kemitraan bisa langgeng dan masyarakat bisa sejahtera. "Dalam perjanjian yang diteken, petani hanya berhak 30 persen atas hasil panen setelah dipotong utang dan biaya produksi."

Manajemen Karya Canggih Mandiri menilai kekacauan terjadi lantaran petani kurang memahami pola kemitraan yang berlangsung pada 1995-2010 itu. Sarwan, seorang pengawas lapangan, mengatakan perusahaan cukup adil. "Justru kami ini layaknya buruh bagi petani. Petani ongkang-ongkang kaki dan bisa mendapatkan penghasilan bulanan. Semua kami yang mengurus, dari perawatan kebun hingga panen," kata Sarwan.

Kini berkebun sawit secara mandiri membuat roda perekonomian keluarga Gusti berputar lebih kencang. Dua puluh hari sekali, dia memanen tandan sawit di kebun seluas dua hektare. Setiap kali panen, ia bisa membawa pulang Rp 1-1,2 juta, jauh lebih besar ketimbang penerimaan saat menjadi petani plasma.

Toh, Kementerian Pertanian tetap optimistis program inti plasma masih efektif untuk mengerek kesejahteraan masyarakat sekitar kebun. Kewajiban membangun kebun plasma seluas 20 persen dari luas lahan akan ditertibkan. "Itu aturan untuk perusahaan. Bila masyarakat merasa mandiri lebih baik, silakan. Tidak ada paksaan terhadap warga untuk bermitra," kata Gamal.

Retno Sulistyowati, Syaipul Bakhori (Jambi), Nurochman Arazie (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus