Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya bunyi angin yang mendesau dan kicauan burung yang terdengar di lokasi proyek di tengah hutan bakau di Kelurahan Gunung Steling, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin siang pekan lalu. Tak ada hiruk-pikuk suara pekerja atau deru kendaraan proyek di area Eastkal Supply Base, yang dikelola PT Pelabuhan Penajam Banua Taka ini.
Dua petugas berseragam biru dan berkacamata gelap terlihat berjaga di pos keamanan di dekat portal, siap menghalau orang asing yang ingin memasuki area proyek. ”Hanya karyawan dan kontraktor yang boleh masuk,” kata salah seorang, sambil minta agar namanya tak disebut. ”Sudah beberapa bulan ini pengerjaan proyek berhenti. Hanya sesekali ada kendaraan yang datang mengambil barang yang ada di dalam.”
Aktivitas pembangunan konstruksi berhenti bukan karena proyek sudah kelar, melainkan lantaran perusahaan kehabisan modal. Dermaga sepanjang 200 meter, tangki air bersih, dan penampungan bahan bakar sudah terbangun. Begitu pula gudang seluas 500 meter persegi. Tapi sebagian besar area masih berlapis tanah. Lahan hutan yang dikupas dan dijadikan penampungan terbuka (open yard) masih kerap ambles jika hujan mengguyur deras. Pada musim seperti itu, jalanan tanah selebar empat meter sebagai akses ke area pelabuhan di bagian belakang pun akan menjadi medan lumpur yang sulit dilalui kendaraan gardan ganda sekalipun.
Proyek terbengkalai inilah yang kini meresahkan para pengurus Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI). ”Kami menanam Rp 200 miliar di sana dalam beberapa tahun ini. Tapi proyek itu masih mentah dan kami tidak mungkin lagi menambah modal,” kata Adam Srihono, Bendahara Yayasan, Jumat pekan lalu. Ia khawatir investasinya akan ikut amblas perlahan-lahan bersama tanah urukan yang tertelan gambut di Penajam.
Adam adalah pengurus baru di bawah kepemimpinan Edy Siswanto, yang ditunjuk mengelola Yayasan pada pertengahan 2010. Adapun keputusan investasi dalam proyek pelabuhan itu dilakukan pengurus sebelumnya, yang diketuai Dudung Syarifudin, dan Ilham Ikhsan sebagai bendahara.
Belakangan, pilihan investasi yang mereka lakukan itu dianggap janggal oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Audit internal oleh Dewan Pengawas YKKBI juga menemukan banyak hal yang tak lazim dalam prosesnya. ”Tidak dilaksanakannya prinsip pengelolaan kekayaan secara hati-hati… mengakibatkan tidak terjaminnya penerimaan dan pengembalian dari investasi tersebut,” demikian BPK menulis dalam laporannya pada April 2011. Auditor internal bahkan menelisik lebih jauh untuk menguak asal-usul produk investasi itu.
Kisah investasi di Penajam itu berawal dari tawaran PT Bahana TCW Investment Management pada awal 2008. Perusahaan ini patungan antara PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan Trust Company of the West (TCW), sebuah perusahaan manajer investasi yang bermarkas di Los Angeles, Amerika Serikat. Mereka membawa proposal proyek pembangunan pelabuhan pendukung untuk industri minyak dan gas di Kalimantan Timur.
Menurut Direktur Utama PT Bahana TWC, Edward Parlindungan Lubis, posisi mereka adalah mencarikan modal untuk proyek yang disodorkan oleh PT Pelabuhan Penajam Banua Taka milik Kamarudin dan kawan-kawannya. ”Kami lihat ini proyek bagus. Undang-undang tentang pelabuhan yang baru memang membuka peluang bagi swasta untuk mengelola pelabuhan. Apalagi Kamarudin sudah punya tanahnya, seluas 87,5 hektare.”
Kamarudin, atau biasa dipanggil Haji Acok, adalah pengusaha terpandang di Kampung Baru, Balikpapan. Di kampung yang mayoritas dihuni warga Bugis ini, ia dikenal memiliki usaha galangan kapal dan makin tersohor setelah menangani proyek pelabuhan di Penajam. ”Tapi itu dulu, pada 2009,” kata salah satu tetangga Kamarudin, yang juga seorang pengusaha. ”Sekarang kami dengar proyeknya bermasalah. Karyawannya mengeluh gajinya tertunggak 3-4 bulan, padahal setiap hari mereka berangkat naik speed boat ke Penajam.”
Kamarudin sendiri tak dapat ditemui. Telepon dan pesan yang dikirim tak direspons. Di kantornya pun ia tak ada. ”Sejak proyeknya macet, belakangan dia memang agak susah dihubungi,” sang tetangga menjelaskan.
Proyek itu awalnya dirancang dalam dua tahap. Yang pertama senilai Rp 350 miliar, dengan komposisi pemegang saham mayoritas masih dipegang Kamarudin sebanyak 51 persen. Sisanya dikuasai Bahana Securities 17 persen, dan 32 persen oleh Bahana Private Equity Pelabuhan (BPEP).
Berikutnya direncanakan nilainya akan naik jadi Rp 450 miliar. Pada tahap ini, BPEP akan menerbitkan seluruh saham baru. Maka susunan pemilikan sahamnya: Kamarudin 30 persen, Bahana Securities 10 persen, dan BPEP 60 persen.
Kepemilikan BPEP inilah yang kemudian dikemas sebagai produk reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) yang dikelola PT Bahana TCW. Mereka memecahnya dalam unit-unit reksa dana yang dihargai Rp 5 miliar per satuan, lalu dipasarkan ke para pengelola dana, seperti YKKBI, PT Jamsostek, dan Yayasan Dana Pensiun Telkom. Jamsostek tak bersedia membeli produk ini. Tapi YKKBI merogoh kantongnya sampai Rp 200 miliar untuk 40 unit penyertaan, melalui dua kali transfer uang.
Keputusan investasi inilah yang dipersoalkan oleh Dewan Pengawas YKKBI. Mereka menemukan ada beberapa prosedur yang tak dipatuhi oleh Dudung dan Ilham Ikhsan. Sebagai produk baru dan satu-satunya, reksa dana infrastruktur yang peluncurannya dilakukan oleh Ketua Badan Pengawasan Pasar Modal semasa Fuad Rahmany ini harus diteliti benar. Karena itu, Dewan Pengawas mengharuskan YKKBI membuat sendiri analisis mengenai prospek investasi tersebut.
Pada September 2008, Yayasan sempat membentuk tim pengkaji dan penilai proyek, yang diketuai Ricky P. Gozali, dengan tujuh anggota. Tapi, menurut pengakuan mereka saat dimintai keterangan oleh auditor, semua anggota tim itu ternyata tidak memiliki kapasitas dan kompetensi sebagai pengkaji proyek. Mereka juga mengakui sempat ikut jalan-jalan ke Cina atas undangan Bahana di tengah proses pengkajian itu.
Akibatnya, tim itu hanya menyusun laporan kajian berdasarkan data yang disodorkan Bahana dalam proposal proyek. ”Saya tidak tahu bahwa kajian yang dibuat adalah prospektus dari Bahana yang 90 persen disalin oleh tim dan disampaikan ke pengurus,” kata Dudung dalam penjelasannya di hadapan auditor.
Edward Lubis tak membantah bahwa Bahana sempat mengajak tim itu ke Shanghai pada November 2009. ”Itu dalam rangka benchmarking dengan bank kustodian kami tentang implementasi produk private equity di pasar Cina,” katanya. ”Mereka bertemu dengan partner kami, Citibank.”
Pengawas Yayasan menganggap pembelian unit reksa dana ini pada dasarnya merupakan penyertaan langsung, sehingga memerlukan izin pembina, yakni Gubernur BI. ”Patut diduga pengurus YKKBI bersama manajer investasi merekondisi jenis investasi menjadi reksa dana, yang proses pembeliannya tidak membutuhkan persetujuan pembina,” demikian tertulis dalam laporan audit, yang hingga kini belum juga dibahas dalam rapat Dewan Gubernur BI tersebut.
Para pengawas Yayasan semakin ketar-ketir saat mereka menengok langsung proyek di Penajam. Mereka menemukan banyak target yang meleset jauh dari yang dijanjikan Bahana. ”Kami kaget. Ini proyek masih jauh dari beres,” kata salah satu anggota dewan pengawas kepada Tempo.
Karena itu, mereka curiga setelah melihat nilai aktiva bersih yang dilaporkan Bahana atas produk reksa dana ini. Berdasarkan laporan bank kustodian, Citibank NA, per 31 Januari 2011, nilai aktiva bersih mengalami peningkatan Rp 485 juta per unitnya, dari nilai semula Rp 5 miliar per satuan. ”Nilai ini tidak sejalan dengan kondisi PT Pelabuhan Penajam yang menjadi perusahaan target investasi, yang sampai saat ini mengalami kerugian kumulatif Rp 51,6 miliar dan belum beroperasi menurut rencana,” auditor menulis dalam laporannya.
”Kami sempat menanyakan ini ke Bahana,” kata Adam Srihono. Dari Bahana, Adam mendapat penjelasan bahwa mereka mendapat premium Rp 18 miliar dari masuknya investasi Dana Pensiun dan Yayasan Kesejahteraan Karyawan Telkom senilai Rp 122,5 miliar pada 2010. Kemudian, akhir tahun lalu, nilai investasi mereka kembali terdongkrak karena masuknya tanah milik Kamarudin ke pencatatan aset perusahaan. ”Kami investasi di sana setelah melakukan studi kelayakan. Proyek itu kami nilai prospektif,” kata Direktur Utama Dana Pensiun Telkom Rochiman Sukarno beberapa waktu lalu kepada Tempo.
Edward Lubis mengakui proyek di Penajam memang tak semulus yang diperkirakan. Kondisi lahan gambut yang tak stabil rupanya memerlukan penanganan yang tak murah. Modal yang tadinya dirancang Rp 450 miliar ternyata tak cukup untuk menyelesaikan target operasi yang sudah molor dua tahun lebih. Dari kalkulasinya, pelabuhan baru bisa siap sepenuhnya dengan biaya Rp 600 miliar. ”Karena itu, kami mau mencari tambahan modal dan mencari partner sejak Februari lalu.”
Jika suntikan modal didapat, Edward meyakinkan bahwa proyeknya masih sangat menarik. Mereka juga pernah mencoba beroperasi pada Juli-Desember 2010. ”Waktu itu ada penyewa dari Serica Energy Plc, yang mau mengebor minyak di Kalimantan Timur. Nilainya US$ 2,2 juta,” katanya. ”Sekarang ada dua operator pelabuhan asing dan private equity yang tertarik. Masih dalam proses due diligence, dan kami berharap ada jawaban dalam dua bulan mendatang.” Ia kembali berjanji bahwa investasi mereka tak akan terbenam di Penajam.
Y. Tomi Aryanto, S.G. Wibisono (Penajam)
Edward Parlindungan Lubis:
Ini Proyek Bagus
Kendati mengakui ada beberapa hambatan dalam proyek di Penajam, Direktur Utama PT Bahana TCW (Trust Company of the West) Investment Management, Edward Parlindungan Lubis, yakin masa depan bisnis pelabuhan di Kalimantan Timur itu masih punya prospek cerah. ”Ini proyek bagus. Saat ini baru ada satu pelabuhan dengan fasilitas lengkap seperti yang hendak kami bangun, yakni Petrosea, dan itu sudah overload,” kata Edward saat ditemui di Jakarta pertengahan Mei lalu. Penjelasan tambahan ia berikan pada Kamis pekan lalu.
Bagaimana Bahana mendekati Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI) sampai mereka mau menginvestasikan Rp 200 miliar dalam proyek di Penajam?
Ini proses bisnis biasa. Ada orang datang kepada kami bawa proposal, dan kami lihat prospeknya bagus. Kami carikan modal ke PT Jamsostek, tapi mereka menolak. Lalu ke lembaga dana pensiun dan lain-lain. YKKBI ini paling fleksibel, tidak ribet seperti lembaga lain yang banyak aturannya, misalnya dari Departemen Keuangan.
Ada yang mengatakan Bahana melobi ke sana dengan bantuan salah satu pemimpin di Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga banyak proses yang dilewati dan cepat?
Tidak ada. Dari sisi bisnis, proyek pelabuhan pendukung untuk industri minyak dan gas ini memang menarik sebagai pilihan investasi jangka panjang di sektor infrastruktur. Marginnya tinggi dan peluang pasarnya besar di Kalimantan Timur. Karena itu, kemudian Yayasan Kesejahteraan Karyawan dan Dana Pensiun Telkom juga ikut berinvestasi.
Audit internal Bank Indonesia menemukan banyak kejanggalan. Mereka juga ragu terhadap masa depan proyek ini.
Kami tidak tahu apa yang terjadi di BI. Tapi memang pekerjaan konstruksi proyek ini sempat terhenti dan tak mudah. Target meleset. Semestinya pada 2009 akhir sudah bisa beroperasi, tapi mungkin realisasinya baru selesai akhir 2012 dan beroperasi awal tahun depan.
Pengawas YKKBI khawatir uang mereka tak akan kembali karena proyek ini kehabisan modal di tengah jalan. Apa betul begitu?
Kami sedang mencari tambahan modal melalui partner strategis sejak Februari lalu. Kami merencanakan rights issue sebanyak US$ 12 juta (sekitar Rp 110 miliar) dan menjual sedikitnya 30 persen saham untuk belanja modal dan modal kerja.
Dengan demikian, kepemilikan YKKBI dan Dana Pensiun Telkom di proyek ini akan tergerus?
Ya, dilusi itu pasti. Sudah kami perhitungkan dan sampaikan sejak awal. Tapi, kalau nilai proyeknya membesar, dilusi tidak jadi masalah. l
Adam Srihono:
Uang Sebesar Itu, Kami Sedihlah
Menanggung risiko investasi yang dilakukan pengurus sebelumnya, Bendahara Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI) Adam Srihono mengaku tak punya banyak pilihan. ”Boleh dibilang proyek ini mati suri,” katanya, Jumat pekan lalu, saat ditemui di kantornya di kompleks Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan. Ia memberi keterangan didampingi Irwan Mulawarman, kepala divisi pasar uang dan modal di yayasan ini.
Ada banyak kejanggalan dalam proses investasi Rp 200 miliar di proyek pelabuhan Bahana pada 2008 dan 2009. Misalnya, tak ada uji kelayakan oleh yayasan. Kenapa begitu?
Begitu masuk jadi pengurus, Mei 2010, kami langsung meneliti. Hal-hal itu kami akui memang terjadi. Saya lihat, jenis investasi proyek infrastruktur yang dikemas dalam reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) ini baru sama sekali dan hanya satu-satunya di Indonesia sampai saat ini. Terus terang, tidak ada keahlian bagi kami untuk melakukan uji kelayakan. Belakangan kami tahu banyak data yang disajikan tim yang menguji itu ternyata diambil dari proposal Bahana.
Apakah ada tekanan dari pihak tertentu atau indikasi suap ke pengurus lama?
Kami tidak tahu. Itu porsi pembina, dalam hal ini Gubernur BI, untuk mengusutnya kalau memang ada. Kami sebagai pengurus baru tidak bisa berbuat ke sana. Terlalu jauh.
Proyek ini sekarang kehabisan modal?
Bisa dibilang proyek ini mati suri. Masih greenfield industry. Belum jadi sama sekali. Kalau bisa selesai sesuai dengan rencana, mungkin masih ada prospek. Masalahnya, penyelesaian itu akan berat. Dan kami tidak mungkin menambah modal lagi.
Anda tidak curiga kenapa di atas kertas nilai aktiva bersih reksa dana ini naik terus?
Itu sempat ditanyakan ke Bahana. Terakhir di pengujung 2011, saat nilainya naik dari Rp 218 miliar jadi Rp 264 miliar. Mereka bilang itu karena ada inbreng (penyertaan modal dengan memasukkan aset—Red.) dari pemegang saham lama, Kamarudin. Apakah valuasinya berlebihan, kami tidak tahu.
Investasi Anda terbenam di sana. Seberapa besar efeknya bagi YKKBI?
Efek pasti ada. Itu implikasi logis. Bayangkan saja, uang sebesar itu kami tanam dan belum ada yield yang kembali. Kami sedihlah. Sejauh ini, kami baru menerima Rp 1 miliar lebih sedikit pada awal 2011. Itu bagi hasil dari penyewaan pelabuhan ke Serica Energy yang cuma beberapa bulan. Hanya itu.
Banyak janji Bahana meleset. Anda tidak memprotes?
Sebagai investor, posisi kami sebagai pemegang unit RDPT ini lemah sekali. Ini risiko yang juga tidak sepenuhnya kami sadari sejak awal. Sekarang kami bersama pemegang unit lain dari Yayasan Kesejahteraan Karyawan dan Dana Pensiun Telkom sedang mencoba mengevaluasi dan me-review kontrak investasi kolektif. Karena menjual unit penyertaan juga tidak mudah, siapa yang mau beli?
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo