Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung Mawardi*
Sejarah Indonesia bergerak bersama bahasa. Arus modernitas memberi takjub bagi pribumi untuk mendefinisikan diri di masa kolonialisme. Abad ke-20 menjadi episode semaian intelektualitas mengacu ke modal bahasa. Kita bisa menilik makna bahasa saat kaum pribumi bersekolah. Penguasaan bahasa (Belanda) adalah konstruksi identitas dan harga diri di zaman bergerak.
Mohammad Natsir (1938) mengisahkan: ”Biasanja orang kita soeka memberi titel intelektuil itoe khoesoes bagi mereka jang berbahasa Belanda....” Ingatan Natsir itu menjelaskan tentang makna ”kemadjoean” di Hindia Belanda dalam referensi bahasa dan kiblat pengetahuan. Kaum elite intelektual awal abad ke-20 memang bergerak dengan bahasa Belanda ketimbang bahasa Arab dan Melayu. Bahasa menentukan derajat intelektual? Natsir membuat kritik atas dominasi bahasa Belanda dan rujukan Eropa sebagai legitimasi intelektual di Hindia Belanda. Pengakuan juga mesti diberikan bagi orang-orang dengan rujukan pengetahuan ke Kairo, Mekah, Aligarh, dan Delhi. Mereka menggunakan bahasa Arab.
Bahasa memang mengantarkan perubahan. Hindia Belanda bergeliat saat bocah-bocah pribumi mendapati ”restu” mengisahkan dunia dengan bahasa kaum penjajah. Pendirian sekolah membuat mereka melihat diri dan dunia dengan ketakjuban. Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar mengajak mereka kelana ke segala penjuru pengetahuan. Bahasa Belanda adalah keajaiban. Kaum elite terpelajar mendapati berkah bahasa Belanda. Kita pun mengingat mereka sebagai pengisah awal atas selebrasi ”kemadjoean” di negeri terjajah. Kita menemukan serangkaian tulisan mereka dalam bahasa Belanda.
Bahasa menggerakkan negeri jajahan. Mereka mengucap dunia dengan bahasa milik penjajah. Mereka melawan menggunakan bahasa Belanda. Agenda memeluk bahasa pun melibatkan dilema. Bahasa Belanda lekas mengumbar sekian perkara: iman, kelas, identitas, nasionalisme, etnis. Pilihan menggunakan bahasa Belanda mengartikan ada ambiguitas: kehilangan dan penemuan. Mereka perlahan kehilangan akar kultural dan mendapati ”iman” modernitas. Bahasa bisa mengubah segala.
Puja bahasa Belanda terus menular saat kaum elite terpelajar dan kaum pergerakan menggunakan bahasa itu untuk mengisahkan diri. Mereka betah berumah di bahasa Belanda. Keasingan mungkin telah terlampaui oleh pamrih politik-kultural. Kefasihan berbahasa Belanda mirip pengesahan diri sebagai suluh ”kemadjoean”. Bahasa Belanda bergelimang pengharapan untuk mendefinisikan zaman. Peran itu perlahan surut saat afirmasi atas bahasa Indonesia memberi belokan ke sejarah silam. Bahasa itu memiliki jejak silam dan bergerak terus merumuskan masa depan Indonesia. Selebrasi bahasa Indonesia pun mengalirkan optimisme. Bahasa itu mengubah derajat iman kultural.
Persemaian bahasa Indonesia di masa 1930-an berlangsung di sekolah, pers, sastra, dan politik. Poedjangga Baroe menobatkan diri sebagai penggerak. Kita mengenang Poedjangga Baroe sebagai kerja bahasa dan sastra berpamrih mencipta ”zaman baroe” atau ”zaman kebangoenan”. Pamrih ini diusahakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanoesi Pane, dan Armijn Pane. Daniel Dhakidae (2003) mengakui kerja Poedjangga Baroe itu justru identik sebagai gerakan intelektual ketimbang kesusastraan. Pengakuan ini melibatkan makna progresivitas bahasa Indonesia. Kaum elite terpelajar dan pergerakan menggunakan bahasa Indonesia untuk mengubah nasib. Bahasa Indonesia telah menjelma jadi bahasa revolusioner.
Godaan pun menghampiri. Penguasaan bahasa Indonesia sebagai tandingan bahasa Belanda perlahan digenapi dengan godaan bahasa Inggris. Kita bisa menilik sejarah 1930-an melalui pembacaan Kitab Kursus Besar akan Beladjar Bahasa Inggris (1937) susunan Th. A. Du Mosch dan S. Weijl Jr. Buku setebal 488 halaman ini sengaja dipersembahkan untuk kaum pribumi agar bergairah belajar bahasa Inggris demi mengerti lakon dunia. Para penulis menganjurkan bahwa penguasaan bahasa Inggris bakal membuat orang menemukan ketakjuban dunia. Simaklah: ”Itoe bahasa Inggris jang perloe sekali akan diadjar, jang sekarang dikasi kasempatan akan meladjar bahasa itoe, sampei mendjadi paham menoelis dan membitjara bahasa itoe, membikin jang orang bisa sampeiken dirinja, djaoehnja lebih dari pada 3/5 dari antero doenia.”
Bahasa Inggris mengundang pikat dan jerat. Ikhtiar mendefinisikan Indonesia tak selesai dengan bahasa Jawa, Sunda, Indonesia, dan Belanda. Bahasa Inggris ingin turut mengisahkan detik-detik perubahan di Indonesia. Bahasa ini telah mengubah dunia. Kaum elite terpelajar menerima godaan itu sebagai prosedur menemukan kiblat baru untuk pengesahan ”zaman baroe”. Bahasa Inggris seolah-olah mengantarkan pencerahan. Kita pun perlahan menerima bahasa Inggris dengan takjub tak usai.
Ki Hadjar Dewantara (1951) menganggap bahasa adalah soal pembangunan negara. Pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan memang memberi janji atas makna identitas dan keindonesiaan. Makna ini terus bergerak bersama pengakuan dan penguasaan bahasa asing. Tokoh pendidikan Indonesia itu menjelaskan: ”... perlu adanja suatu bahasa guna melantjarkan hubungan rakjat kita dengan dunia internasional. Tak usah kita sangsikan bahwa untuk kepentingan itu tiada bahasa asing selain bahasa Inggris jang patut kita angkat mendjadi bahasa internasional jang mutlak.” Bahasa Inggris mengisahkan Indonesia dan dunia.
Pengharapan atas bahasa Inggris terus berlanjut sampai hari ini dengan pelbagai dalih. Bahasa Inggris diajarkan di sekolah. Bahasa Inggris bertebaran di jalan dan berserakan di ruang publik. Bahasa Inggris pun lekas menjadi dominasi atas nama urusan sekolah, pekerjaan, industri hiburan, politik, dan diskursus intelektual. Puja bahasa Inggris telah memberi keajaiban untuk meladeni lakon dunia di abad ke-21. Bahasa Inggris mirip juru selamat. Kita perlahan mengisahkan diri dengan bahasa Inggris tanpa rasa penyesalan atas keterpencilan bahasa Indonesia. Kita memang tega.
Pengelola Jagat Abjad Solo
Bandung Mawardi*
Sejarah Indonesia bergerak bersama bahasa. Arus modernitas memberi takjub bagi pribumi untuk mendefinisikan diri di masa kolonialisme. Abad ke-20 menjadi episode semaian intelektualitas mengacu ke modal bahasa. Kita bisa menilik makna bahasa saat kaum pribumi bersekolah. Penguasaan bahasa (Belanda) adalah konstruksi identitas dan harga diri di zaman bergerak.
Mohammad Natsir (1938) mengisahkan: ”Biasanja orang kita soeka memberi titel intelektuil itoe khoesoes bagi mereka jang berbahasa Belanda....” Ingatan Natsir itu menjelaskan tentang makna ”kemadjoean” di Hindia Belanda dalam referensi bahasa dan kiblat pengetahuan. Kaum elite intelektual awal abad ke-20 memang bergerak dengan bahasa Belanda ketimbang bahasa Arab dan Melayu. Bahasa menentukan derajat intelektual? Natsir membuat kritik atas dominasi bahasa Belanda dan rujukan Eropa sebagai legitimasi intelektual di Hindia Belanda. Pengakuan juga mesti diberikan bagi orang-orang dengan rujukan pengetahuan ke Kairo, Mekah, Aligarh, dan Delhi. Mereka menggunakan bahasa Arab.
Bahasa memang mengantarkan perubahan. Hindia Belanda bergeliat saat bocah-bocah pribumi mendapati ”restu” mengisahkan dunia dengan bahasa kaum penjajah. Pendirian sekolah membuat mereka melihat diri dan dunia dengan ketakjuban. Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar mengajak mereka kelana ke segala penjuru pengetahuan. Bahasa Belanda adalah keajaiban. Kaum elite terpelajar mendapati berkah bahasa Belanda. Kita pun mengingat mereka sebagai pengisah awal atas selebrasi ”kemadjoean” di negeri terjajah. Kita menemukan serangkaian tulisan mereka dalam bahasa Belanda.
Bahasa menggerakkan negeri jajahan. Mereka mengucap dunia dengan bahasa milik penjajah. Mereka melawan menggunakan bahasa Belanda. Agenda memeluk bahasa pun melibatkan dilema. Bahasa Belanda lekas mengumbar sekian perkara: iman, kelas, identitas, nasionalisme, etnis. Pilihan menggunakan bahasa Belanda mengartikan ada ambiguitas: kehilangan dan penemuan. Mereka perlahan kehilangan akar kultural dan mendapati ”iman” modernitas. Bahasa bisa mengubah segala.
Puja bahasa Belanda terus menular saat kaum elite terpelajar dan kaum pergerakan menggunakan bahasa itu untuk mengisahkan diri. Mereka betah berumah di bahasa Belanda. Keasingan mungkin telah terlampaui oleh pamrih politik-kultural. Kefasihan berbahasa Belanda mirip pengesahan diri sebagai suluh ”kemadjoean”. Bahasa Belanda bergelimang pengharapan untuk mendefinisikan zaman. Peran itu perlahan surut saat afirmasi atas bahasa Indonesia memberi belokan ke sejarah silam. Bahasa itu memiliki jejak silam dan bergerak terus merumuskan masa depan Indonesia. Selebrasi bahasa Indonesia pun mengalirkan optimisme. Bahasa itu mengubah derajat iman kultural.
Persemaian bahasa Indonesia di masa 1930-an berlangsung di sekolah, pers, sastra, dan politik. Poedjangga Baroe menobatkan diri sebagai penggerak. Kita mengenang Poedjangga Baroe sebagai kerja bahasa dan sastra berpamrih mencipta ”zaman baroe” atau ”zaman kebangoenan”. Pamrih ini diusahakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanoesi Pane, dan Armijn Pane. Daniel Dhakidae (2003) mengakui kerja Poedjangga Baroe itu justru identik sebagai gerakan intelektual ketimbang kesusastraan. Pengakuan ini melibatkan makna progresivitas bahasa Indonesia. Kaum elite terpelajar dan pergerakan menggunakan bahasa Indonesia untuk mengubah nasib. Bahasa Indonesia telah menjelma jadi bahasa revolusioner.
Godaan pun menghampiri. Penguasaan bahasa Indonesia sebagai tandingan bahasa Belanda perlahan digenapi dengan godaan bahasa Inggris. Kita bisa menilik sejarah 1930-an melalui pembacaan Kitab Kursus Besar akan Beladjar Bahasa Inggris (1937) susunan Th. A. Du Mosch dan S. Weijl Jr. Buku setebal 488 halaman ini sengaja dipersembahkan untuk kaum pribumi agar bergairah belajar bahasa Inggris demi mengerti lakon dunia. Para penulis menganjurkan bahwa penguasaan bahasa Inggris bakal membuat orang menemukan ketakjuban dunia. Simaklah: ”Itoe bahasa Inggris jang perloe sekali akan diadjar, jang sekarang dikasi kasempatan akan meladjar bahasa itoe, sampei mendjadi paham menoelis dan membitjara bahasa itoe, membikin jang orang bisa sampeiken dirinja, djaoehnja lebih dari pada 3/5 dari antero doenia.”
Bahasa Inggris mengundang pikat dan jerat. Ikhtiar mendefinisikan Indonesia tak selesai dengan bahasa Jawa, Sunda, Indonesia, dan Belanda. Bahasa Inggris ingin turut mengisahkan detik-detik perubahan di Indonesia. Bahasa ini telah mengubah dunia. Kaum elite terpelajar menerima godaan itu sebagai prosedur menemukan kiblat baru untuk pengesahan ”zaman baroe”. Bahasa Inggris seolah-olah mengantarkan pencerahan. Kita pun perlahan menerima bahasa Inggris dengan takjub tak usai.
Ki Hadjar Dewantara (1951) menganggap bahasa adalah soal pembangunan negara. Pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan memang memberi janji atas makna identitas dan keindonesiaan. Makna ini terus bergerak bersama pengakuan dan penguasaan bahasa asing. Tokoh pendidikan Indonesia itu menjelaskan: ”... perlu adanja suatu bahasa guna melantjarkan hubungan rakjat kita dengan dunia internasional. Tak usah kita sangsikan bahwa untuk kepentingan itu tiada bahasa asing selain bahasa Inggris jang patut kita angkat mendjadi bahasa internasional jang mutlak.” Bahasa Inggris mengisahkan Indonesia dan dunia.
Pengharapan atas bahasa Inggris terus berlanjut sampai hari ini dengan pelbagai dalih. Bahasa Inggris diajarkan di sekolah. Bahasa Inggris bertebaran di jalan dan berserakan di ruang publik. Bahasa Inggris pun lekas menjadi dominasi atas nama urusan sekolah, pekerjaan, industri hiburan, politik, dan diskursus intelektual. Puja bahasa Inggris telah memberi keajaiban untuk meladeni lakon dunia di abad ke-21. Bahasa Inggris mirip juru selamat. Kita perlahan mengisahkan diri dengan bahasa Inggris tanpa rasa penyesalan atas keterpencilan bahasa Indonesia. Kita memang tega.
Pengelola Jagat Abjad Solo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo