Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH dua lantai bergaya klasik Eropa di Perumahan Taman Pondok Legi IV Blok H/20, Pepelegi, Sidoarjo, Jawa Timur, itu terlihat kotor. Debu memenuhi kusen pintu dan daun jendela. Itulah rumah Siswanto, petugas kebersihan di kantor Pelayanan Pajak Dinoyo, Surabaya. Sejak sang empunya rumah ditahan di Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya dua bulan lalu lantaran terlibat mafia pajak, rumah yang sejatinya tipe 45 itu lebih banyak kosong.
Saat Tempo mengetuk pagar setinggi dua meter, Jumat pagi pekan lalu, seorang remaja keluar dari dalam rumah. Gadis yang enggan menyebutkan namanya itu mengaku kerabat istri Siswanto. ”Saya hanya disuruh bersih-bersih rumah ini,” katanya. Tempo sempat mengintip ruang tamu rumah Siswanto. Di ruang tamu itu tampak kursi berbentuk L dan akuarium besar. Sebuah lukisan abstrak terpajang di situ.
Menurut Nyonya Parto, tetangga Siswanto, pria 35 tahun itu tinggal di rumah tersebut bersama istri dan kedua anaknya. Namun, sejak ia berurusan dengan polisi, anak-istrinya tidak pernah terlihat lagi. Siswanto dikenal dermawan. Suatu saat, dia pernah membiayai rombongan ibu-ibu berziarah ke makam Wali Songo. Semula, para peziarah yang menggunakan bus pariwisata itu dikenai biaya. Tapi, ”Pak Siswanto mengembalikan uangnya dengan alasan sedang mendapat rezeki,” kata Nyonya Parto.
Gara-gara ”rezeki” itulah Siswanto ditangkap anggota Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Wilayah Surabaya pada 5 Maret lalu. Polisi bergerak setelah menerima pengaduan dari seorang pengusaha di kota rujak cingur itu yang bernama Devid Sentono. Direktur PT Putra Mapan Sentosa ini mengaku telah ditipu oleh kantor konsultan pajak Agustri Junaedi.
Menurut kuasa hukum Devid, Lidya Notonegoro, selama ini Devid rutin membayar pajak lewat konsultan pajak Agustri Junaedi. Tapi, pada awal tahun lalu, ndilalah datang tagihan pajak sebesar Rp 934 juta atau setara dengan tagihan pajak selama tiga bulan. ”Setoran pajak klien saya ternyata digelapkan,” kata Lidya. Merasa dirugikan, Devid melaporkan penggelapan pajak ini ke Kepolisian Wilayah Surabaya.
Menurut Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Ike Edwin, dari pengaduan Devid, polisi kemudian menangkap dua anggota staf konsultan pajak Agustri Junaedi, Fatchan dan Iwan Rosidi. Mereka diduga berkomplot dengan Siswanto, yang akhirnya ikut ditahan. Modusnya adalah memalsukan surat setoran pajak. Ada 350 perusahaan yang setoran pajaknya dipalsukan. ”Dengan asumsi nilai pajak yang seharusnya disetor sekitar Rp 1 miliar, kerugian negara sekitar Rp 300 miliar,” kata Ike Edwin. Polisi menetapkan Fatchan, Iwan Rosidi, dan Siswanto serta tujuh pria lain sebagai tersangka. Nilai kerugian negara dari penggelapan pajak di Surabaya ini jauh lebih besar dibanding duit setoran pajak yang ditilap Gayus Tambunan, sebesar Rp 28 miliar, dan Bahasyim Assifie, senilai Rp 65 miliar.
Modus kejahatan yang mereka lakukan terbilang sederhana. Tersangka Fatchan dan Iwan Rosidi mengambil surat setoran pajak berikut uangnya dari perusahaan wajib pajak. Seharusnya, surat setoran pajak dan uangnya diserahkan ke Bank Jatim, sebagai bank yang ditunjuk Direktorat Jenderal Pajak, untuk mendapatkan validasi dan bukti penerimaan uang. Namun setoran itu tidak dibayarkan ke bank, tapi ditilap oleh para tersangka.
Untuk mengelabui kantor pajak, Siswanto membuat surat setoran pajak palsu. Masing-masing tersangka mendapat ”rezeki” berupa jatah 10-20 persen dari total setoran wajib pajak. Sejauh ini, Tempo belum berhasil mendapatkan konfirmasi dari Fatchan dan Iwan Rosidi di ruang tahanan lantaran belum diizinkan Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya Ajun Komisaris Anom Wibowo menambahkan, proses pemalsuan validasi dan penyerahan surat setoran pajak palsu di Surabaya dilakukan oleh sel-sel jaringan hingga melibatkan orang dalam di kantor pajak. Dari komplotan Fatchan, alurnya bercabang kepada Suhertanto, anggota staf verifikasi data wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Rungkut. Suhertanto bekerja sama dengan bekas petugas cleaning service Kantor Pelayanan Pajak Pratama Rungkut yang juga kawan Siswanto. Suhertanto bekerja sama juga dengan seorang kepala seksi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Rungkut dan seorang operator consul (perekam atau pencatat data pajak) di Kantor Pajak Mulyorejo.
Dari nyanyian para tersangka, polisi juga berhasil mengungkap kasus penipuan dengan modus serupa. Kali ini korbannya Purwanto, pemimpin PT Intan Tiara Mediatama. Purwanto juga menyerahkan urusan pembayaran pajaknya ke kantor konsultan pajak. Menurut Anom, otak penipuan dan penggelapan pajak di Surabaya mengarah ke Siswanto dan Suhertanto. Tersangka lain berperan sebagai kurir kedua orang tersebut. ”Sistem jaringan ini berupa sel putus. Mereka hanya kenal satu tingkat,” ujar Anom Wibowo.
Ternyata Siswanto bukan orang baru di dunia tipu-menipu uang wajib pajak. Pada 2003, Siswanto, yang ketika itu menjadi petugas kebersihan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Rungkut, pernah terjerat kasus serupa. Pengadilan menghukumnya enam bulan penjara. Tapi rupanya jeruji penjara tak membuatnya jera. ”Dia sudah mengakui tak bisa berhenti karena keuntungan dari pekerjaan ini sangat menggiurkan,” kata kuasa hukum Siswanto, Muhammad Sholeh.
Menurut Sholeh, Siswanto memang memalsukan validasi surat setoran pajak. Di rumahnya, dia memiliki peranti lengkap untuk memalsukan dokumen pajak. Dari penggeledahan di rumah Siswanto, polisi menyita alat-alat pemalsu, seperti flash disk, printer, stempel Bank Jatim, stempel Direktorat Jenderal Pajak, stempel tanda terima pemegang kas, dan stempel kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan. ”Dia memanfaatkan pekerjaannya sebagai tenaga kebersihan untuk mempelajari dokumen-dokumen pajak,” ujar Sholeh.
Sedangkan kuasa hukum Suhertanto, Abdus Salam, membantah kalau kliennya dianggap sebagai otak penggelapan pajak. Menurut dia, otak mafia pajak di Surabaya adalah seorang konsultan pajak berinisial BA yang kini buron. Dia pernah memberikan uang Rp 600 juta dan Rp 200 juta kepada Suhertanto karena membantu meneliti data wajib pajak yang menunggak. ”Tapi uangnya dikembalikan oleh Suhertanto,” kata Salam seraya menyebutkan surat setoran pajak yang dipalsukan hanya berjumlah 40-an, bukan 350 perusahaan.
Bagaimana cara mereka menggangsir kantor pajak? Menurut sumber Tempo, untuk membuat validasi palsu ataupun mengambil dokumen wajib pajak tertunggak, Suhertanto dan komplotannya membobol database di kantornya. Tapi mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur I, Ken Dwijugiasteadi, membantah cerita ini. ”Tidak mungkin database di kantor saya bisa dibobol,” kata Ken (lihat ”Modul Cacat Kantor Pajak”).
Ken berkukuh tidak ada uang negara yang hilang akibat ulah Suhertanto. Buktinya, kewajiban wajib pajak yang ditipu Suhertanto tetap ada. Ken juga menampik ada mafia pajak di wilayahnya. ”Itu dilakukan oleh orang-orang di luar kantor pajak,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani merotasi Ken Dwijugiasteadi menjadi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur III di Malang.
Sumber Tempo di kantor pajak mengungkapkan, pemalsuan faktur dan surat setoran pajak dengan memanfaatkan petugas kebersihan sangat lazim digunakan. Mereka umumnya bertugas sebagai kurir. ”Mereka lihai karena hafal medannya,” katanya. Menurut dia, mafia pajak di Surabaya diduga kuat ada kaitannya dengan mafia pajak di Bandung. ”Salah seorang pejabat pajak yang ditahan polisi Surabaya pernah bekerja di kantor pajak di Bandung,” ujar sang sumber.
Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Agoeng Wijaya, Padjar Iswara (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo