Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AYU Utami benar. Dalam rubrik Bahasa! ini, dua pekan silam, Ayu menulis, ”Praktik lama ’memperhatikan’, ’mempersamakan’, mempersatukan’, bukan kesalahan atau ketololan pendahulu kita. Mereka adalah tertib yang lebih kompleks.”
Pendahulu kita mengajarkan (dari kata kerja ini terjadi pengajaran) dan saya belajar (dari ini kata terjadi pelajaran) bahwa huruf yang bisa luluh karena mendapat awalan adalah huruf pertama pada kata dasar, sedangkan awalan tidak luluh. Jadi benarlah ”mempersamakan” dan ”mempersatukan” karena kata dasarnya adalah ”sama” dan ”satu”, yang tidak perlu luluh karena ”dibumperi” awalan ”per”. Kata dasar dua kata bentukan itu bukan persama dan persatu, maka tidak lahir kata bentukan memersamakan dan memersatukan.
Aha, dalam hal inilah pendahulu kita memang ”tertib yang lebih kompleks”. Kata salah seorang pendahulu itu, di antara para awalan, ”per” punya keistimewaan. Awalan ini tampaknya tak yakin bahwa di dunia ini ada kesempurnaan, karena itu ia undang rekan-rekannya untuk ”menyempurnakan” kerjanya. Kebetulan rekan-rekan ”per” suka bekerja dan juga senang mengajak saudara mereka bernama ”akhiran”. Maka bukan hanya lahir mempersamakan dan mempersatukan, melainkan semua kata yang digandeng oleh ”per” terbuka untuk digandeng awalan yang lain—dengan catatan, tak selalu saudara mereka akhiran ikut serta dalam kerja ini. Jadi ada memperbudak, diperbudak, memperkaya, diperkaya, memperdayakan, diperdayakan, dan seterusnya, termasuk memperhatikan, diperhatikan. Sedangkan awalan lain (me, be, di, dan selanjutnya) biasanya menyelesaikan tugas dengan sempurna sehingga tak perlu lagi bantuan awalan lain. Menyunting, misalnya, akan jadi tak keruan bila ditambah awalan: apa arti bermenyunting? Atau termenyunting? Atau dimenyunting?
Kalau begitu, tanya anda, pada mulanya adalah kata dasar ”hati” kemudian menjadi ”perhati” dan akhirnya ”memperhatikan”?
Itulah masalahnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI edisi ketiga cetakan pertama, 2001) pada lema ”hati” tak ada kata bentukan ”perhati”. Yang ada ”berhati”, ”sehati” (dari ”hati” sebagai kata benda), lalu ”hati-hati”, ”berhati-hati”, dan ”kehati-hatian” (dari ”hati” sebagai kata keterangan). Sedangkan ”perhati” dalam kamus ini menjadi lema sendiri sebagai kata kerja, dengan tiga kata bentukan, ”berperhatian”, ”pemerhati”, dan ”memerhatikan” (bukan ”memperhatikan”, karena ”perhati” dianggap kata dasar sehingga ”p” di situ luluh).
Namun benarkah ada kata dasar ”perhati”? Pendahulu KBBI edisi ketiga, KBBI cetakan ketiga (edisi pertama), 1990, tidak memasukkan ”perhati” sebagai lema. Yang ada lema ”hati” dan pada ”hati” sebagai kata keterangan disebutkan kata bentukannya ”berhati-hati”, ”memperhatikan”, dan ”perhatian”. Tak ditunjukkan bagaimana terbentuknya ”memperhatikan”.
Adalah Madong Lubis yang bicara soal awalan ”per” dalam bukunya Paramasastera Landjut (W. Versluys N.V., Amsterdam-Jakarta, cetakan keempat, 1952—cetakan pertamanya 1946). Awalan ”per”, katanya, memiliki keganjilan. Awalan ini seolah-olah membentuk ”kata asal yang baru”. Inilah yang dinamakan ”penjelmaan yang kedua”. Segala jenis kata, tulisnya, ”boleh menjadi kata asal baru kalau diberi awalan per”. Konsekuensinya, semua kata yang diberi awalan per, karena menjadi ”kata asal baru”, bisa dipakai dalam kalimat tanpa imbuhan apa pun. Kalau beberapa atau banyak ”kata asal baru” tak mudah digunakan dalam kalimat tanpa imbuhan, misalnya saja perhati, peraduh, perkalau, permeja, perlari, menurut saya karena kita belum akrab dengan kata-kata tersebut. Menggunakan kata asal baru memerlukan kreativitas. Bayangkan misalnya kita menonton latihan pementasan Aduh karya Putu Wijaya. Sangat mungkin sutradara berteriak kepada seorang pemain: ”Wah, peraduhnya diperkeras, dong!” Sedangkan beberapa kata asal baru, antara lain perhalus, percepat, perlambat, pertama, bisa dipakai tanpa imbuhan apa pun—dan biasanya dalam kalimat perintah: ”Ayo, percepat larimu!” misalnya. Jadi, kita dukung Ayu untuk mengembalikan memerhatikan menjadi memperhatikan.
Adapun ihwal mempunyai atau memunyai, saya menduga kata ”punya” adalah kata baru yang aslinya adalah ”empunya”. Dengan awalan ”me” dan akhiran ”i”, jadilah mempunyai. KBBI dalam hal ini tak meluluhkan ”p”, bahkan dalam KBBI cetakan 1990 pada lema ”punya” langsung disebutkan ”empunya” dalam tanda kurung. Bung ayo Bung kita pertahankan ”p”!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo