VONIS dibacakan hakim ketua, Wahab Nasution, di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Barabai, Kalimantan Selatan, awal Maret lalu. Ia didampingi hakim anggota Wahyono dan Haryono, Panitera M. Ramli dan Jaksa Mislam. Di kursi terdakwa duduk Muhamad Sani, 26 tahun. Ia dikawal empat polisi, tanpa didampingi pembela -- padahal jaksa menuntutnya dengan hukuman tujuh tahun. "Kami sudah menawarkan pembela, tapi ia menolak," kata Hakim Wahyono. "Saya tidak punya uang pembayar pembela. Menerima pembela yang ditawarkan pengadilan, apalah pula artinya," kata Sani. Sejak memasuki ruang sidang, ayah satu anak itu tampak tertib. Pria berkulit putih dengan tubuh atletis ini tenang menyimak. Tapi, begitu Wahab usai membacakan putusan hukuman 10 tahun penjara, Sani tiba-tiba berdiri. Ia secepat kilat melemparkan kursi berangka besi yang didudukinya ke arah hakim ketua. Wahab cepat menunduk dan sigap menangkis dengan tangan kiri. Kursi itu terpelanting ke belakang, melayang di atas kepala Ramli. Lengan kiri Wahab robek dan membengkak. Sani diamankan polisi. Kursi tadi dikembalikan ke tempat semula. Sani duduk lagi di situ dan sidang dilanjutkan sampai selesai. "Saya melakukan itu di bawah sadar, tersentak mendengar hukuman 10 tahun," katanya kepada Almin Hatta dari TEMPO, Kamis pekan silam. Menurut warga Desa Limbung yang hanya tamatan SD dan sehari-hari berjualan teh ini, vonis itu dianggapnya tidak adil. "Selama ini, yang saya tahu, vonis itu maksimal sama dengan tuntutan, bahkan paling sering lebih rendah," katanya. Lalu apa pertimbangan majelis hakim? "Ikuti saja nanti sidang contempt of courtnya. Saya pasti membeberkannya di sana. Itu saja, maaf, no comment," kata Wahab. Ketua Pengadilan Negeri Barabai, Munawir, S.H., juga tidak bersedia bicara. Hanya hakim anggota Wahyono, dalam kapasitasnya sebagai kepala bagian humas pengadilan itu, bicara sedikit. Menurut dia, selama sidang, Sani sama sekali tak memperlihatkan penyesalan. Di samping itu, ini adalah kedua kalinya ia terlibat tindak pidana berat. "Ia gampang dan dingin melakukan tindak pidana. Itulah antara lain yang memberatkannya," katanya. Wahab, katanya, sudah melaporkan insiden kursi itu ke polisi. "Kalau laporan itu benar, Sani melakukan pelanggaran Pasal 212 KUHP, yakni melawan petugas yang sedang dinas, yang ancaman hukumannya mencapai 8 tahun," kata Letkol. Heru Winarno, Kapolres Hulu Sungai Tengah. Dalam waktu dekat ini, Sani akan diperiksa sehubungan dengan pengaduan Wahab itu, dan beberapa saksi akan dimintai keterangannya. Heru membenarkan bahwa sebelum perkara barusan, Sani pernah terlibat kasus penganiayaan berat. Ceritanya begini. Pertengahan tahun 1990, Sani dinyatakan buron oleh Polresta Banjarmasin. Ia disangka melakukan penganiayaan yang mengakibatkan korbannya cedera berat. Tidak dijelaskan siapa korbannya dan seberapa parah cederanya dan di mana kejadiaannya. Setelah menghilang beberapa bulan, tiba-tiba Sani masuk daftar tersangka atas tewasnya Ir. Ilyas, pengawas proyek jalan PT Multi Agremio. Itu terjadi di Desa Banua Kepayang, Kecamatan Labuan Amas Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 31 Oktober 1990. Sani baru ditemukan di rumah istri mudanya di kawasan Jembatan Putih Kuin Utara, Banjarmasin, 17 September 1991. Lalu ia dibawa ke depan meja hijau di Banjarmasin. "Ia dihukum 3 tahun penjara. Setelah itu Sani saya seret ke Barabai dan diperiksa sehubungan dengan kasus terbunuhnya Ir. Ilyas itu," kata Letkol. Heru Winarno. Sani mengaku menusuk perut Ir. Ilyas dengan belati. Tapi ia membantah berencana melakukannya. Menurut dia, peristiwa itu bermula dari terjadinya senggolan antara sepeda motor yang dikendarainya dan mobil Ilyas pada 30 Oktober 1990. Ketika itu ia dimakimaki Ilyas. Terjadi pertengkaran, tapi dilerai masyarakat. Besoknya, di sebuah warung keduanya bertemu lagi. "Di hadapan orang banyak Ilyas memaki saya lagi. Karena itulah, perutnya saya tusuk. Saya memang selalu membawa pisau belati," tutur Sani. Sampai Kamis kemarin, Jaksa Mislam belum menentukan sikap atas vonis pengadilan itu. Begitu pula Sani. "Setelah saya menghantam hakim dengan kursi itu, apa perlu saya mengatakan banding?" katanya. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini