Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tolak RUU Penyiaran, Koalisi Seni: Menghalangi Kebebasan Berkesenian

Permasalahan pertama akibat RUU Penyiaran ialah lahirnya lembaga sensor baru yang mengancam kebebasan seniman.

30 Mei 2024 | 14.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompers) menggelar aksi menolak RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi di depan Gedung Negara Grahadi, Selasa, 28 Mei 2024. Dok AJI Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Koalisi Seni mengkritik Rancangan Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran). Organisasi itu menilai RUU Penyiaran berpotensi menghalangi pemenuhan kebebasan berkesenian. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koalisi Seni menilai sejumlah hak akan dibatasi melalui perubahan peraturan itu, seperti hak untuk berkarya tanpa sensor dan intimidasi, hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi dan balas jasa atas karya, serta hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Koalisi Seni menemukan 3 masalah utama dari RUU Penyiaran," kata Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, dalam pernyataan resminya, dikutip Kamis, 30 Mei 2024.

Hafez menjelaskan permasalahan pertama akibat RUU Penyiaran ialah lahirnya lembaga sensor baru yang mengancam kebebasan seniman. Kondisi ini diakibatkan perluasan tugas dan wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dari yang sebelumnya mengawasi menjadi mengatur isi dan konten siaran. 

Melalui ketentuan dalam RUU Penyiaran, ia menjelaskan berwenang untuk mengeluarkan surat kelayakan isi siaran berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Penyiaran (SIS) yang ditetapkan tanpa kewajiban melibatkan pemangku kepentingan yang lain. Kondisi ini, kata dia, akan menghambat tercapainya cita-cita RUU Penyiaran, yakni terciptanya siaran yang merefleksikan aspirasi masyarakat yang beraneka ragam. 

Lebih lanjut, permasalahan kedua yang ia soroti adalah potensi kriminalisasi dan pembungkaman pada seniman akibat kewajiban sensor internal. Kondisi itu terjadi dengan dalih mematuhi P3 dan SIS yang didasarkan pada nilai subjektif dan multitafsir, seperti agama, moral, dan adat istiadat. 

"Pembatasan seperti ini akan berpotensi semakin membungkam ekspresi dari masyarakat minoritas dan kelompok rentan," ujarnya. 

Terakhir, ia menerangkan bahwa permasalahan ketiga berhubungan dengan penyempitan ruang sipil akibat perluasan ruang lingkup penyiaran ke ranah digital. Padahal, kata dia, ruang lingkup sebelumnya hanya mencakup televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik. 

Keadaan tersebut akan mengakibatkan semakin hilangnya ruang bagi seniman untuk dapat mendistribusikan karyanya, khususnya bagi mereka yang selama ini memilih platform digital sebagai kanal distribusi utama. 

Dia menilai ketentuan dalam RUU Penyiaran tidak hanya berdampak negatif bagi seniman, namun juga akan mencederai hak masyarakat untuk mengakses karya sesuai dengan preferensi dan kebutuhan mereka.

Bercermin dari ketiga masalah itu, Koordinator Penelitian Koalisi Seni, Ratri Ninditya, menyatakan bahwa organisasi mengajukan tiga usul. Pertama, mengubah naskah RUU Penyiaran secara keseluruhan guna menghilangkan pengaturan anti kebebasan berkesenian. 

Kedua, Ratri mengusulkan pemerintah mengubah pendekatan sensor menjadi klasifikasi usia yang disertai peningkatan literasi penonton. Ketentuan ini ditujukan agar membentuk masyarakat yang dewasa dalam memilih dan menilai siaran yang layak.

"Ketiga, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk seniman, dalam pembahasan RUU Penyiaran guna memastikan aturan yang dihasilkan ditujukan demi kepentingan publik," tuturnya.

 

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus