Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Marah

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemerdekaan, apakah artinya? Persamaan, apa pula artinya? Temuilah kaum enragés, "orang-orang yang naik pitam". Mereka ini punya alasan buat marah. Krisis ekonomi kian mengandaskan Prancis tahun 1792 itu. Krisis ini yang menyebabkan pemerintahan lama di bawah Raja Louis XVI jatuh—orang mengharapkan perbaikan hidup—tapi kini krisis itu juga mengancam pemerintahan revolusioner yang mengambil alih kekuasaan. Ongkos perang yang harus ditanggung oleh penguasa baru itu begitu berat. Perang itu sendiri tak terhindarkan karena Prancis diancam oleh kerajaan-kerajaan sekitar yang takut akan menjalarnya revolusi ke seluruh Eropa. Tapi tentara harus dibayar dan diberi makan, senjata harus diproduksi, sementara sumber pendapatan rezim baru itu terbatas. Alat pembayaran yang berlaku, assignat, dicetak dalam jumlah besar, dan tentu saja nilainya jatuh. Sampai 50 persen. Para pedagang enggan melepas barang karena tak ada lagi laba yang diperoleh dalam inflasi itu. Tak ayal, suara resah pun menjalar cepat. Seorang tokoh revolusi mengatakan bahwa sebagaimana kesengsaraan melahirkan revolusi, misère itu pula yang akan menghancurkannya. Ada seorang pastor yang sengit berbicara dan kita tahu apa sebabnya. Jacques Roux bertugas di Paroki Saint-Nicolas-des-Champs, sebuah kampung paling melarat di Paris, tempat penjaga pasar, pengangkut air, dan buruh bangunan yang kehilangan kerja hidup dalam gubuk dan kamar loteng yang sesak. Roux menuduh bahwa Revolusi telah dimanfaatkan oleh pengambil untung, dan rakyat kecil, sans-culotte, sekali lagi ringsek sebagaimana pada zaman raja-raja. Maka Roux, sang pastor, pun berseru, "Nyatakan perang kepada para pengkhianat!" Kaum monopolis, para penimbun barang, dan spekulan harus dihukum mati, begitulah usulnya. Jika pemerintah baru tak bisa bertindak garang, rakyat harus bergerak lagi dan membantai para "lintah darat". Dalam bisingnya suara sengit itu, para wakil rakyat yang jadi anggota pemerintah revolusioner—yang terhimpun dalam Konvensi Nasional—kian terdesak. Para legislator itu kian tak berdaya, atau kian terbujuk oleh massa yang berkumpul dalam "perserikatan rakyat" di jalanan. Sasaran tertuju terutama kelompok Girondin, yang dianggap kurang tegas memihak. Mereka bahkan dituduh berkomplot dengan kekuatan asing yang menyebabkan tentara revolusioner kalah dalam pelbagai pertempuran. Tak masuk akal mungkin, tapi terkadang akal tak punya celah lagi. Pada tanggal 9 dan 10 Maret 1793, Jean Varlet, seorang pemuda anak orang kaya yang tergerak memimpin kaum enragés, memobilisasi serombongan massa yang bersenjata. Mereka hancurkan percetakan dua surat kabar milik fraksi Girondin. Suara yang dianggap menjengkelkan pun dibungkam. Desakan seperti inilah yang akhirnya berhasil memecah kaum Girondin dari kaum Jacobin—hingga yang terakhir pun bertambah radikal, dan pembersihan berdarah di antara sesama kaum revolusioner (yang kemudian terjadi di ujung zaman revolusi itu) agaknya bermula di sini. Yang dituntut kaum enragés tak bisa dilepaskan dari kesengsaraan yang akut di lapis bawah itu. Mereka meminta agar ekonomi dikomando. Perdagangan tak bisa dibiarkan bebas. Kebebasan itu telah menyengsarakan kaum sans-culotte yang jelata. Berangsur-angsur suara ini mendapat tempat di badan legislatif itu, terutama setelah kaum Jacobin mendapat alasan buat menyudutkan rival mereka, kaum Girondin. Beberapa keputusan pun terdengar: orang kaya diharuskan meminjamkan uang untuk menyubsidi harga roti; nilai tukar assignat dipatok tetap; perdagangan gandum dikontrol. Akhirnya juga sejumlah bahan makanan pokok diatur suplainya dan harga-harga ditentukan oleh dekrit. Revolusi Prancis berangsur-angsur, dengan pimpinan kaum Jacobin, berubah menjadi perang terhadap kapitalisme komersial. Di ujungnya, sebagaimana disimpulkan oleh sejarawan Simon Schama, kaum borjuis—yang oleh para sejarawan Marxis disebut sebagai kelas yang mendapatkan manfaat dari Revolusi Prancis—ternyata menjadi korban utamanya. Dan dengan borjuasi yang ketakutan, perekonomian memang mandek. "Perdagangan bebas," kata Saint-Just, seorang tokoh Jacobin, pada suatu hari sebelum regimentasi ekonomi berlaku, "adalah ibu dari keberlimpahan." Hari ini Saint-Just akan layak dikutip oleh orang-orang WTO dan Wall Street. Tapi dilema yang dihadapinya pada tahap berikut dari Revolusi Prancis, ketika kaum enragés mendesakkan tuntutannya dan rakyat jelata menjerit dan mendukung, mungkin tidak terbayang lagi sekarang. Menjelang akhir abad ke-20 ini, alasan untuk marah kaum sans-culotte tetap sah. Tapi, seperti abad ke-18 di Prancis itu, resep Pastor Roux dari paroki kumuh Saint-Nicolas-des-Champs (kurang-lebih dipraktekkan di Kuba dan Korea Utara) dicampakkan. Egalitarianisme itu dianggap tak membawa kemerdekaan. Lebih sedih lagi: tanpa kemerdekaan itu akhirnya juga tak ada kebersamaan. Seakan-akan tiap harapan yang berharga dalam hidup akan selamanya terpendam, menunggu, dan mungkin tak terpenuhi. Meskipun manusia jadi berharga karenanya. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus