Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan fenomena tutupnya beberapa pabrik tekstil di tanah Air disebabkan oleh beberapa faktor. Setidaknya, Bahlil menyebut tiga faktor utama. "Pertama sih karena tenaga kerja, upah itu mulai naik," ujar Bahlil di Kantor BKPM, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2019.
Di samping itu penetrasi impor dinilai cukup tinggi menembus ke pasar Tanah Air. Menurut dia, telah menjadi rahasia umum kalau bahwa produk garmen di Indonesia adalah hasil impor dari negara lain, terutama Cina. Karena itu, ia berujar perlu ada suplai produk dalam negeri sebagai substitusi impor.
"Kita tahu akhir-akhir ini banyak produk dari luar Indonesia yang melakukan penetrasi yang sangat luar biasa sekali, sampai kemudian kalau cek di pasar-pasar maupun di Tanah Abang itu sudah susah kita mendapatkan made in Indonesia, made in negara lain aja kira kira begitu," ujar Bahlil.
Selanjutnya, Bahlil juga mengatakan Harga Pokok Produksi alias HPP tekstil di Indonesia cukup tinggi. Bahan baku tekstil di Indonesia tergolong mahal lantaran permesinan yang sudah cukup tua dan harus mengalami peremajaan dan revitalisasi. "Tapi saya yakin kalau itu mampu kami bisa selesaikan dengan baiK, dan pengertian dari pengusaha dan pemerintah, insyaaAllah selesai."
September lalu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menyebutkan ada sembilan perusahaan tekstil terpaksa menutup usahanya dalam kurun 2018-2019 karena produk kain impor yang membanjir. Besarnya volume produk impor kain membuat industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri sulit bersaing karena harga kain impor yang lebih murah.
"Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat ada sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja)," kata dia pada diskusi di Menara Kadin, Jakarta, Senin, 9 September 2019.
Akibat tutupnya perusahaan tekstil ini tentunya berdampak pada pemutusan hubungan kerja PHK) dan pengurangan lapangan kerja. Menurut Ade, industri tekstil saat ini lebih banyak berorientasi domestik, daripada ekspor. Produk dari industri yang berorientasi domestik ini memiliki kualitas barang yang belum memenuhi syarat ekspor, sehingga tidak ada pilihan untuk memasarkan di dalam negeri.
Adapun Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto mengatakan masih melakukan inventarisasi data teraktual dari pabrik tekstil yang gulung tikar. Ia mengatakan ada perusagaan yang tutup sementara karena masalah pesanan, dan kurang telak. "Ini kami coba bangkitkan."
CAESAR AKBAR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini