Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan telah mempublikasikan data terkini APBN Kinerja dan Fakta edisi Juli 2024. Dalam laporan tersebut, posisi utang pemerintah tercatat telah menembus Rp8.444 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka ini meningkat Rp91 triliun dibanding bulan sebelumnya yakni Rp8.353 triliun. Rasio utang juga meningkat menjadi 39,13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), atau hampir menyentuh 40 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo turut menanggapi peningkatan utang tersebut. “Pemerintah mengambil langkah proaktif untuk mengantisipasi ketidakpastian global melalui penarikan utang yang berbasis pada fleksibilitas dan opportunistic approach,” ujarnya di media sosial X pribadinya @prastow, dikutip Sabtu, 3 Agustus 2024.
Dengan pendekatan opportunistic, dia melanjutkan, penarikan utang dimungkinkan dilakukan lebih awal, demi memitigasi risiko di masa depan. Karena itu pada bulan Juni 2024 pemerintah menarik pinjaman lebih besar dari sebelumnya. Sehingga rasio utang terhadap PDB juga naik.
Meski demikian, anak buah Sri Mulyani tersebut menyatakan angka rasio utang terhadap PDB Indonesia masih tergolong moderat. Berdasarkan laporan paruh awal 2024, pemerintah memproyeksikan rasio utang hingga akhir 2024 sebesar 38,80 persen terhadap PDB.
“Pemerintah bersama DPR memastikan perencanaan utang sebagai bagian kebijakan APBN dilakukan dengan baik, berhati-hati, dan memerhatikan dinamika global dan domestik,” ujarnya lagi.
Hingga semester 1-2024, pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp214,69 triliun. Terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp206,18 dan pinjaman Rp8,1 triliun.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan pemerintah boleh saja berutang, selama digunakan untuk pembangunan penunjang perekonomian, seperti misalnya infrastruktur. Menurut dia penggunaan pinjaman untuk infrastruktur seperti jalan tol bisa saja menguntungkan. Karena selain meningkatkan ekonomi, ada pendapatan negara dari pembayaran yang bisa digunakan untuk pembayaran utang.
Namun, pemerintah juga harus mengukur kondisi lain, yakni pergerakan mata uang. Patokan kurs yang ditetapkan dalam APBN juga penting, karena jika prediksi rupiah tidak sesuai dengan target akan berpengaruh pada pembayaran cicilan dan bunga. Akan ada selisih kelebihan yang harus dibayar. “Kalau asumsinya meleset dari target, pasti pemerintah rugi,” kata dia kepada Tempo.
Rupiah saat ini telah menembus lebih dari Rp16 ribu per dolar AS. Hingga akhir periode penghitungan 26 Juni 2024, rupiah telah mencapai Rp16.379 per dolar Amerika. “Ini mengalami deviasi yang cukup besar dari asumsi APBN yang hanya Rp15.000,” ujar Sri Mulyani dalam konfrensi pers APBN, Kamis, 27 Mei 2024.
Pilihan Editor: 10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Utang Negara Naik Terus