Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMA perdamaian dunia pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam forum Sidang Umum PerserikatÂan Bangsa-Bangsa jelas perlu dan sesuai dengan zaman. Tapi seharusnya usulnya tentang resolusi protokol internasional antipenistaan agama dipikirkan lebih matang.
Alasan Yudhoyono bahwa resolusi itu akan mencegah konflik kekerasan dan menjaga perdamaian dunia terasa kurang dirumuskan baik-baik. Seandainya Yudhoyono berharap menambang dukungan, sangat tidak strategis menyatakan bahwa kebebasan berekspresi bukanlah sesuatu yang mutlak. Begitu banyak negara yang konstitusinya menjamin kebebasan berekspresi itu.
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, contohnya, membebaskan warganya berekspresi sedemikian luas. Ekspresi yang paling brutal pun tetap dilindungi hukum. Kita tak bisa meminta negara lain mengubah undang-undangnya dengan alasan tersinggung.
Sukar menghindari kesan pidato itu merupakan sikap reaktif terhadap gejolak kekerasan akibat munculnya film The Innocence of Muslims yang mengecam agama Islam. Lebih dari itu, pidato tersebut menunjukkan kemunduran luar biasa dalam diplomasi Indonesia.
Protokol antipenistaan agama tak akan mudah dirumuskan. Ukuran menghina agama tertentu di satu negara belum tentu sama dengan negara lain. Penghinaan terhadap suatu agama juga sulit diukur karena dinyatakan berdasarkan perasaan satu kelompok. Ketersinggungan dan perasaan nista merupakan hal yang sangat subyektif. Semestinya disadari, protokol itu justru bisa berbalik mengancam kemerdekaan kelompok minoritas untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan mereka.
Mengusulkan resolusi blasphemy alias antipenodaan agama malah bisa ditafsirkan sebagai mengajarkan kebiasaan buruk kepada dunia luas. Siapa saja, dengan alasan tersinggung, akan mendapat alasan untuk menekan penganut kepercayaan lain. Tidakkah terpikir bahwa ini justru mengundang bibit kekerasan yang lebih besar.
Konsep yang ditawarkan pidato di PBB itu seperti "sejalan" dengan pengalaman penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di negeri ini. Dengan undang-undang itu, negara mempunyai kewenangan memutuskan terjadinya penodaan terhadap suatu agama. Kewenangan negara itu ternyata dikuatkan Mahkamah Konstitusi, benteng terakhir penjaga undang-undang dasar. Mahkamah menolak gugatan sekelompok orang yang memprotes campur tangan negara dalam agama pada 2010.
Jejak "kekerasan" dalam aturan hukum itu gampang ditemukan di lapangan. Tekanan atas komunitas pemeluk Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia bertahun-tahun tak kunjung selesai. Pemimpin kelompok Syiah di Sampang yang dicap kelompok lain menyimpang dari agama Islam, misalnya, akhirnya harus menerima hukuman. Membereskan toleransi beragama yang morat-marit di dalam negeri semestinya lebih dulu dilakukan, setidaknya agar tersedia pijakan moral untuk berbicara dalam forum dunia itu.
Jika Presiden Yudhoyono ingin berbicara serius tentang perdamaian dunia, isi pidato bisa ditekankan pada dukungan lebih kuat terhadap Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Dewan yang dibentuk pada 2006 itu—meskipun ditentang Amerika Serikat dan Israel—bertujuan sama dengan keinginan Indonesia, maupun warga dunia, untuk hidup berdampingan secara damai meski berbeda ras dan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo