Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Alasan Munculnya Gejolak Emosi pada Remaja Menurut Psikolog

Psikolog memberi saran buat para orang tua yang suka kewalahan menghadapi anak remaja. Jangan terbawa emosi.

5 Januari 2022 | 10.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menjelaskan alasan di balik gejolak emosi yang kerap dialami usia remaja. Menurutnya, bagian otak korteks prefrontal belum berfungsi secara optimal saat remaja sehingga tidak heran apabila perilaku dan keputusan yang dilakukan lebih banyak dipengaruhi emosi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Bagian inilah yang membantu mengambil keputusan atau melakukan fungsi-fungsi berpikir tingkat tinggi yang eksekutif dan memikirkan efek jangka panjang,” kata Vera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengatakan fungsi korteks prefrontal baru berkembang secara optimal ketika menginjak usia 20-25 tahun. Vera menyebut contoh kasus yang biasanya dialami banyak remaja, yakni bermain game online. Alih-alih mengerjakan tugas sekolah atau belajar, mereka lebih gemar menghabiskan waktu untuk bermain game. Remaja kesulitan mengontrol atau menahan diri untuk tidak terus bermain game karena lebih banyak dipengaruhi emosi.

“Main game itu asik, itu emosi semua dapatnya. Perasaan senang dan pleasure semua ada di situ. Terus bandingkan dengan belajar, itu berat banget,” tuturnya.

Menurut Vera, untuk melakukan transisi dari kecanduan bermain game hingga memiliki kesadaran untuk belajar harus dimulai dari perubahan-perubahan dan target-target kecil yang dilakukan secara konsisten dengan didampingi orang tua.

“Jadi yang kita tekankan pada anak adalah, ‘Yuk, kamu pasti bisa mengendalikan keinginan untuk main game. Sebenarnya dengan mengalahkan itu saja dia sudah berjuang supaya prefrontal cortex-nya bisa berfungsi lebih optimal,” kata Vera.

Vera menyebutkan contoh lain. Biasanya remaja juga mengalami kesulitan ketika mempertimbangkan dan memilih jurusan kuliah. Ketika sisi emosi yang dikedepankan dalam pengambilan keputusan, maka tak heran apabila remaja menjelang usia 20 tahun kadang kala merasa salah mengambil jurusan.

“Ada anak yang memilih jurusan yang penting masuk negeri atau kerjanya gampang, atau ada idolanya di situ, jadi emosi yang bermain. Atau keinginan orang tuanya yang masuk ke sana,” ujarnya.

Dalam kasus seperti itu, Vera menekankan peran orang tua dan pendidik yang secara tidak langsung menjadi penjaga fungsi korteks prefrontal pada remaja. Untuk mengoptimalkan fungsi otak ini, orang tua bisa membantu anak melalui diskusi mengenai konsekuensi jangka pendek dan panjang saat memilih jurusan tertentu.

Saat menjalankan proses diskusi, Vera menegaskan orang tua juga perlu menjaga kesabaran diri sendiri sebab pengambilan keputusan pada remaja memang membutuhkan waktu yang panjang.

“Banyak orang tua yang mungkin tidak sabar untuk melalui proses ini karena umur sudah lebih tua secara angka, jadi sudah lebih tahu apa yang mesti dilakukan. Kalau tidak sabar, orang tua malah jadi short cut, ‘Sudah kamu ambil yang ini saja’, padahal belum tentu sesuai dengan hati anak,” ujarnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus