Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ruang publik dianggap belum lengkap jika tidak memiliki elemen seni dan budaya.
Keberadaan unsur kebudayaan diyakini sebagai modal untuk menjamin eksistensi suatu ruang publik.
M Bloc Space di Jakarta Selatan bisa menjadi contoh pemanfaatan ruang publik untuk kebudayaan.
Apa yang terbayang saat mendengar kata ruang publik? Jika semata suatu lokasi tempat masyarakat dapat berkumpul dan berinteraksi, gambaran itu belum cukup. Handoko Hendroyono, seorang pendiri M Bloc Space, mengatakan elemen penting dalam sebuah ruang publik adalah adanya ruang untuk berkesenian dan berdagang. "Sehingga tercipta praktik baik kebudayaan," kata dia dalam diskusi Perluasan Ruang Publik: Menghidupi Ruang Publik sebagai Titik Temu Ekosistem Kebudayaan, di ICE BSD, Tangerang Selatan, Jumat, 23 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik itu diterapkan Handoko di M Bloc Space yang beroperasi sejak 2019. Handoko dkk memanfaatkan deretan rumah tua milik Percetakan Uang RI, Peruri, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang tidak digunakan sejak awal 1990-an. Di tempat nongkrong yang berlokasi di pintu masuk Terminal Blok M itu, pengunjung tidak semata-mata bisa menyantap makanan dan minum kopi, tapi juga bisa menikmati berbagai acara. Mulai pentas musik, pameran seni, diskusi, hingga peluncuran buku. Ada juga museum kecil yang menunjukkan sejarah awal tempat itu, yaitu percetakan uang. Ibarat Taman Ismail Marzuki versi miniatur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga beraktivitas di M Bloc Space, Jakarta, 23 Februari 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna
M Bloc menjadi bagian dari wajah baru Blok M. Sentra ekonomi dan terminal yang dulu terkenal semrawut tersebut kini menjadi kawasan yang ramah pejalan kaki dan pengguna transportasi umum. Di antara terminal bus dan stasiun MRT Blok M, misalnya, terbentang Taman Literasi Martha Christina Tiahahu yang tak pernah sepi pengunjung sejak dibuka pada September 2022. Seperti namanya, di ruang hijau ini tak hanya ada keteduhan, tapi juga perpustakaan. Koleksinya cukup variatif, dari dongeng anak hingga novel cinta.
Taman Literasi Blok M juga dilengkapi dengan panggung yang berdiri di atas kolam. Fasilitas itu dapat digunakan untuk pertunjukan musik hidup, pembacaan puisi, diskusi, dan lainnya. Petang hingga malam merupakan jam-jam paling sibuk di taman seluas 9.700 meter persegi itu. Ada atau tak ada acara, banyak pengunjung memanfaatkan hijaunya hamparan rumput taman untuk sekadar duduk-duduk atau mengobrol.
Warga beraktivitas di Taman Literasi Marta Cristina Tiahahu di kawasan Blok M, Jakarta, 23 Februari 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna
Ruang publik dan ruang hijau di Jakarta terus menjadi tema perdebatan. Ada yang mengatakan Ibu Kota semakin hijau dengan banyaknya pembangunan dan revitalisasi taman. Ada juga yang bilang masih jauh dari harapan, mengingat luas ruang hijau baru 5,2 persen dari luas kota. Jauh dari angka ideal, 30 persen.
Arief Yudi Rahman, penggagas Jatiwangi Art Factory, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi Perluasan Ruang Publik, mendukung pendapat kedua. Dia menggunakan parameter yang lebih sederhana ketimbang perbandingan luas area hijau dan bangunan, yaitu pelaksanaan hari bebas kendaraan bermotor. Car-free day pertama kali berlangsung pada 2002 dengan cara mengosongkan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan M.H. Thamrin dari kendaraan, sehingga warga bisa memanfaatkannya untuk berolahraga, berjualan, dan lainnya. "Ini adalah bentuk pemaksaan pembentukan ruang publik yang bersifat sementara," kata Arief, yang ditemui Tempo seusai diskusi.
Seorang siswa mengamati "Self Demonstration" karya seniman asal Jerman, Julian Weber, yang dipamerkan di Galeri Jatiwangi Art Factory, Majalengka, Jawa Barat. Jumat (9/3). TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Arief ikut membidani Jatiwangi Art Factory, pusat seni berbasis komunitas yang menjadi satu magnet Majalengka, Jawa Barat, sejak 2005. Dalam paparannya di diskusi yang digelar Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, Arief juga menyinggung pentingnya keberadaan unsur budaya di setiap ruang publik. "Entah berkreasi, bermusik, dan lainnya. Yang pasti, ruang publik harus bisa melindungi kesempatan berkesenian itu," kata dia.
Adapun Singgih Susilo Kartono, seniman sekaligus pendiri Spedagi Movement, mengatakan area terbuka ideal hanya ada di perdesaan. "Di desa, kita masih bisa menjumpai pekarangan rumah yang jadi ruang publik," ujar dia. Bentuknya bermacam-macam, dari sanggar tari, sanggar musik, hingga posyandu. Tempat di mana masyarakat bebas mengakses dan berinteraksi di dalamnya. "Desa punya semuanya, tapi dengan skala yang lebih kecil," ujarnya.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo