Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Membangun komunikasi risiko dari berbagai pihak, termasuk pada kelompok masyarakat, penting untuk mencegah penyakit menular. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kementerian Kesehatan, Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan penting untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan penguatan komunikasi risiko melalui tenaga kesehatan yang ada di layanan kesehatan primer puskesmas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Perlu ada komunikasi risiko yang baik untuk membujuk orang yang tidak mau vaksin, tidak mau minum obat. Untuk itu, penting bagaimana kita membangun komunikasi risiko, bukan hanya untuk COVID-19, tetapi juga penyakit menular lain yang masih mengancam seperti tuberkulosis dan HIV," katanya pada acara "Apresiasi dan Pembelajaran Program Komunikasi Risiko Pemberdayaan Masyarakat dan Dukungan Vaksinasi COVID-19" yang didukung Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP), Senin, 26 Juni 2023. "Penting membangun kepercayaan masyarakat agar mau divaksin dan berobat agar tercapai transformasi layanan kesehatan primer, termasuk puskesmas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya penyampaian komunikasi risiko yang inklusif demi meningkatkan layanan vaksinasi yang menjangkau kelompok rentan. “Kita bisa asalkan gotong royong dan kerja sama. Inisiatif yang mengupayakan layanan inklusif ini sangat bagus karena banyak sekali kendala yang kita temui di daerah, misalnya nakes yang tidak sanggup menjangkau jarak 50 km dari puskesmas sampai ke perumahan warga," tuturnya.
Mencegah penularan penyakit
Menurutnya, Komunikasi Risiko Pemberdayaan Masyarakat (KRPM) sangat penting untuk edukasi dan sosialisasi agar masyarakat mau divaksin atau berobat ke puskesmas apabila terkena penyakit. Salah satu perwakilan relawan kesehatan dari Komunitas Peduli Lansia Jawa Tengah, Aron Aan Damara, mengatakan pentingnya membangun komunikasi risiko di daerah karena masyarakat harus didekati secara terus-menerus, tidak bisa hanya sekali.
"Saya pernah mengunjungi ibu-ibu lansia usia 70-an. Saat pertama kali saya datang beliau tidak mau divaksin. Kemudian saat datang yang kedua kali, komunikasinya saya ubah, saya bilang nanti saya gendong, saya peluk, akhirnya beliau mau," kisah Aron.
Untuk itu, Maxi menyatakan contoh komunikasi risiko yang berhasil, terutama di daerah, bisa menjadi pembelajaran dan diterapkan untuk mencegah penularan penyakit lain, juga untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi pandemi pada masa depan.