DRAMA AIDS makin lama kian memilukan. Eve van Grafhorst, gadis kecil berusia tiga tahun dari Gosford, New South Wales, Australia, bagai ditakdirkan harus menjalani sebuah kehidupan yang gelap. Apa salahnya? Eve, Juni lalu, dipastikan menderita AIDS (aquired immune deficiency sydrome). Ia mendapatkan penyakit itu tiga tahun lalu ketika ibunya membutuhkan transfusi darah pada waktu melahirkannya. Sejak Juni itu kehidupan Eve dan orangtuanya di pedalaman Gosford, memasuki mendung berat. "Kami hidup seperti dalam pembuangan," ujar Gloria van Grafhorst, sang ibu. Para tetangga ternyata tak cuma mengucilkan keluarga yang malang itu. Mereka juga menunjukkan rasa tak suka dengan meludahi Eve. Selain itu, menurut Gloria, para tetangganya juga membuat pagar-pagar kawat yang sangat tinggi di sekitar halaman mereka, agar Eve tak bisa bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Isolasi itu bahkan berlaku pula bagi anjing peliharaan keluarga Grafhorst. Akhirnya uluran tangan bagi Eve tiba juga. Ketika kisah sedih Eve dikampanyekan besar-besaran di Selandia Baru, negara tetangga Australia, simpati membanjir, dan sebuah harian di sana bahkan membuka "dompet Eve". Pemerintah Selandia Baru kemudian menawarkan agar keluarga Grafhorst pindah saja ke negeri tetangganya itu. "Sungguh suatu perbedaan besar," kata Gloria membandingkan perlakuan bangsanya sendiri dengan tetangganya. Keluarga Grafhorst kemudian memang memutuskan pindah ke Selandia Baru. Dua pekan lalu, di. sebuah hari libur, mereka bersiap-siap meninggalkan tanah air mereka. Beberapa saat sebelumnya mereka telah mendapat konfirmasi, dana untuk hijrah itu sudah cukup - NZ$ 5.000 atau sekitar Rp 4 juta. Tapi. bukan berarti semuanya telah beres. Eve masih digayuti beban berat lain: hingga kini upaya mengatasi penyakit mematikan itu belum menunjukkan tanda-tanda positif. Beberapa waktu lalu memang ada tanda menggembirakan. Ahli mikrobiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Max Essex menemukan sejenis virus AIDS - mirip, tapi tak sama dengan, HTLV III. Virus ini diperkirakan bisa dimanfaatkan untuk membuat vaksin menghadapi AIDS. Virus itu - ada yang menyebutnya HTLV IV - ditemukan Essex di Senegal, Afrika. Ia ada pada kera hijau - primata yang diduga menularkan virus AIDS pada manusia. Dan Essex, bersama sejumlah rekannya di Senegal, menemukan pula virus serupa pada manusia, dan juga menyeang sel-sel T, yang merupakan bagian penting dalam pertahanan tubuh. Namun - ini yang aneh - virus itu tidak membunuh, tidak menimbulkan penyakit. Menurut Essex, virus yang ditemukannya itu adalah mata rantai yang hilang dalam evolusi HTLV III. Virus baru itu, secara teoretis sangat ideal bagi pembuatan vaksin. Dimasukkan ke tubuh manusia, tidak menimbulkan penyakit, tapi membangun antibodi. Dan antibodi itu diharapkan bisa menghancurkan HTLV III, yang masuk suatu ketika. Namun, Essex mengakui pembuatan vaksin tak semudah itu. Masih banyak hal yang misterius pada cara HTLV III menghancurkan sistem pertahanan tubuh. Maka, tak mudah menentukan, antibodi macam apa yang harus dibangunkan untuk melawan virus itu. "Baru sekitar satu dua tahun mendatang bisa dipastikan apakah mungkin membuat vaksin itu," ujar Essex. Sementara itu, sejumlah peneliti di lembaga imunologi dan penyakit menular di Atlanta, AS, berhasil mengungkapkan misteri lain di sekitar AIDS. T.S. McDoual dan empat rekannya menemukan bagaimana virus HTLV III mengikat sel-sel T pada butir-butir darah putih. Khususnya molekul-molekul sel-sel T dan molekul-molekul virus yang bergabung pada awalnya, sebelum terjadi infeksi lanjut. Seperti diketahui terdapat beberapa jenis sel T. Dan, jenis yang khusus diserang HTLV III adalah sel T4. Pada sel T4 ini, McDougal dan kawan-kawannya menemukan molekul protein yang mengikat virus HTLV III. Molekul protein itu berdasar bobotnya (58,000) disebut molekul 58K. Selain itu, McDougal juga menemukan molekul pada virus HTLV III yang mengikat molekul 58K. Molekul protein pada virus HTLV III ini bisa disamakan dengan ujung tombak dalam melakukan invasi. Molekul ini terdapat pada kulit virus, yang disebut glycoprotein. Berdasar bobot molekulnya, disebut gp110. Menurut McDougal, ikatan 58K dan gp110 adalah awal penyakit AIDS. Proses selanjutnya, sudah diketahui, virus HTLV III menduduki sel T4, berkembang biak di sana merusakkan sel itu, dan akhirnya menghancurkan pertahanan tubuh. Melalui teknik pengembangan antibodi monoklonal (satu jenis antibodi khusus) McDougal juga menemukan antibodi lain yang berusaha menyelubungi dan menyelamatkan selubung sel T4 ketika gp110 menyerang. Antibodi itu diberi nama T4A mAb. Terdapat usaha saling menghambat antara gp110 dan T4A mAb. Namun, biasanya, antibodinya yang kalah. Pembuatan vaksin, menurut McDougal, kini menjadi lebih jelas, bagaimana mengembangkan jumlah dan kekuatan T4A mAb. Dan itu pertanyaan besar bagi Max Essex. Mungkinkah virus yang ditemukannya, yang mirip dengan HTLV III, itu memiliki molekul gp110? Sebab, tak adanya serangan bisa berarti molekul 58K pada selubung T4 tidak terganggu - mungkin molekul lainnya. Bila virus penemuan Essex tidak mengandung gp110, antibodi yang dibangunkannya tentu bukan T4A mAb. Dengan kata lain, antibodi itu tak akan ada gunanya untuk menangkal serangan HTLV III yang ganas tersebut. Dan drama seperti yang dialami Eve masih akan terus terjadi. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini