JUTAAN wanita peminum pil KB dan pejabat BKKBN kini boleh tersenyum. Soalnya, setelah bertahun-tahun dirisaukan oleh efek samping pil antihamil bagi para peminumnya (di antaranya berupa penyakit radang mulut, TEMPO, 24 September 1983) pertengahan bulan lalu secara tidak disengaja baru saja ditemukan efek positif pil itu. Yakni, estrogen sintetis, sejenis hormon yang biasa terdapat di dalam sejumlah pil KB, ternyata bisa berperan menghindarkan para wanita peminumnya dari penyakit rematik. Kesimpulan yang boleh jadi melegakan ini dibenarkan ahli kandungan Doktor Sudraji Sumapraja setelah ia membaca hasil penelitian Jan P. Vandenbrouke Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda, yang disodorkan wartawan TEMPO Putut Tri Husodo, Kamis pekan lalu Hasil penelitian Vandenbroucke dan kawan-kawan itu dirilis Asosiasi Medis Amerika (AMA), pertengahan bulan lalu. Isinya, sebenarnya, tak secara spesifik mengungkapkan tabir di balik pil KB tadi. Melainkan lebih ditekankan pada penelitian terhadap efek pemakaian hormon nonkontraseptik bagi wanita setengah umur (yang menjelang, sedang, dan telah menopause). Sudah lazim diketahui bahwa para wanita dalam kondisi seperti itu biasanya kerap terkena gangguan: kepala pusing, tubuh pegal-pegal, atau bahkan rematik. Ini bisa jadi karena berkurangnya hormon estrogen di tubuh mereka. Itulah sebabnya, untuk pengobatan, para dokter biasanya memberi mereka hormon pengganti (substitusi) lewat suntikan dan pil. Manfaat langsung hormon substitusi ini sudah lama diketahui memang meringankan derita para wanita setengah umur tadi. Tapi, para periset Belanda ingin dapat gambaran lebih jelas: adakah manfaat langsung pemberian hormon sintentis itu khusus terhadap penyakit rematik yang dialami para wanita setengah baya. Untuk itu, mereka kemudian meneliti 490 wanita - yang akan, sedang, dan telah menopause - penderita rematik, yang dipilih dari pelbagai klinik. Kemudian, sebagai bandingan, para peneliti itu juga menyiapkan 659 wanita lainnya - kedua kelompok wanita itu semuanya berusia 59 hingga 68 tahun yang juga menderita rematik dan penyakit sejenis lainnya. Lalu, secara terpisah, dianalisalah hubungan antara hormon yang mereka pakai dan penyakit rematik yang mereka idap. Dari analisa efek hormon - dengan mengabaikan jenis hormon yang mereka gunakan dan alasan penggunaannya - itu, para peneliti tadi mendapatkan data bahwa 1/3 dari mereka yang terhindar dari rematik adalah mereka yang menggunakan hormon pengganti. Dan ketika dirinci lagi 4/5 dari mereka itu adalah mereka yang mendapat hormon sintentis estrogen. Memang, bagaimana proses kerja hormon pengganti itu hingga bisa melindungi pemakainya dari rematik tak dibeberkan oleh buletin AMA. Toh, Sudraji, 50, genekolog lulusan UI yang sekarang memimpin sebuah klinik keluarga berencana di Jalan Raden Saleh, Jakarta, tetap memuji upaya para periset itu. "Sebuah penelitian yang cerdik," ujarnya. Sebab, katanya, memang baru kali ini efek samping pemakaian estrogen buatan diteliti. Penjelasannya sederhana saja. Menurut Sudraji, pil antihamil ini, yang juga mengandung hormon lain, progesteron itu, diberikan kepada wanita yang subur. Sebab, kedua hormon ini jika diminum bisa menurunkan kesuburan. Caranya: ia akan mendesak hormon asli yang diproduksi secara alamiah oleh tubuh. Dengan hormon sintetis itu, rahim jadi tak cukup "nyaman" buat pertumbuhan sel telur. Maka, wajar kalau kemudian ahli kandungan ini menilai bahwa hasil penelitian yang belum diketahui langkah lanjutannya itu, "Sangat positif buat KB." Paling tidak bisa jadi bahan kampanye baru. Marah Sakti Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini