INI baru terang-terangan menghina pengadilan. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan menerima surat bergambar: majelis hakim tengah mengadili seorang pesakitan, gendut, dan di belakang terdakwa ada orang-orang tengah mengusung peti jenazah. Surat itu - yang seakan-akan dikirim oleh Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) Labuhan Deli di Medan - itu mengingatkan hakim agar berlaku adil dalam mengadili Machmud Siregar, Bendaharawan Pemda Sumatera Utara, yang dituduh korupsi. "Jangan hanya Machmud yang diadili, tapi juga sejumlah orang yang terlibat dalam perkara itu," tulis si pengirim surat. Majelis Hakim Burhan Husein Putrajaya diperingatkan agar senantiasa mengingat maut. Surat itu ditutup dengan kata-kata innalillahi wainnailahi rajiun. Ngeri 'kan? Ada apa dengan perkara Machmud ? Bekas Bendaharawan Pemda itu, yang dituduh telah mengkorupsikan uang negara Rp 800 juta lebih, di dalam persidangan memang membongkar borok di instansinya. Ia hanya mengaku menikmati sekitar Rp 200 juta. Selebihnya, katanya, dilahap puluhan pejabat teras dan juga bawahannya. Tiga orang pejabat penting yang dituding langsung adalah Bahrum Siregar, Kepala Biro Bina Mental B.I. Hutasuhut, bekas Kepala Biro Bina Mental, dan Mustafa Sibuca, Kepala Biro Keuangan. Ketiga orang itu sampai kini, memang, tidak disebut-sebut sebagai terdakwa. Mereka, ketika bersaksi, tentu saja membantah itu. Tapi pembela Machmud, Syaiful Jalil Hasibuan dan Faisal Oloan Nasution, meminta hakim agar menahan ketiga pejabat itu berdasarkan tuduhan memberikan kesaksian palsu. Hakim menolak. Mungkinkah karena hakim bersikap begitu, lalu Machmud mengirimkan surat ancaman? Machmud, yang baru saja dituntut hukuman 20 tahun penjara dan membayar ganti rugi Rp 750 juta, membantah. Pihak MDI Labuhan Deli, yang tercantum sebagai si pengirim surat, juga membantah mencampuri urusan hakim. "Kami tidak tahu-menahu," ujar seorang pengurus organisasi dakwah itu. Majelis hakim sendiri memang tidak menganggap serius isi surat itu. Karena itu pula, sampai kini, mereka tidak merasa perlu meminta pengawalan polisi. Kendati menerima empat surat senada selama memegan kasus Machmud, dari Maret sampai akhi April lalu, Burhan belum merasa dirinya terteror: "Kami tidak akan terusik atau terpengaruh oleh surat-surat itu." Ancaman bukan hanya diterima majelis Burhan. Majelis hakim di Jakarta, yang mengadili kasus terbunuhnya Roy Irwan Bharya, juga mengalami berbagai ancaman. Ketua Majelis Hakim Soedijono, yang mengadili Jhoni Ayal, misalnya, pernah mendapat telepon gelap yang mengancam agar tidak memojokkan Nur Usman, yang waktu itu didengar sebagai saksi. Soedijono langsung melaporkan ancaman itu kepada polisi dan jaksa. Ancaman serupa juga diterima majelis hakim yang mengadili terdakwa lain, Umar Suhandi, yang juga terlibat dalam komplotan Jhoni Ayal. Amarullah Salim, salah seorang anggota majelis, mengaku mendapat ancaman dari penelepon yang mengaku sebagai "pemuda Ambon". "Kepada Pak Soedijono, penelepon itu menyuruh mulut saya dibungkam, agar tidak terlalu menyudutkan Nur Usman," ujar Amarullah. Ketika itu memang lagi ramai-ramainya berita tentang keterlibatan Nur Usman dalam kasus terbunuhnya Roy Bharya. Menurut Amarullah, hakim tidak terpengaruh oleh ancaman-ancaman semacam itu. Buktinya, Jhoni Ayal divonis 17 tahun penjara dan belakangan Nur Usman diadili dan kena 7 tahun. "Pokoknya, hakim tidak boleh terpengaruh oleh ancaman dan sanjungan orang," kata Amarullah. Mereka itu juga tidak ingin menduga-duga siapa yang mencoba mempengaruhi keputusan lembaga peradilan ketika itu. Ancaman buat hakim tidak hanya berupa surat atau telepon. Ada yang berbentuk "barang halus": guna-guna. Hakim di Yogyakarta, I Ngakan Nyoman Rai, pernah mengalami teror mental ketika mengadili perkara subversi pengedar buletin gelap Ar-Risalah, Ahmad Zonet Sumarlan, akhir tahun lalu Suatu hari, Nyoman Rai kaget karena di ruangannya dan pelataran pengadilan tersebar beras kuning dan kembang warna-warna. Tampaknya serius juga: setiap Nyomar Rai akan menyidangkan Zonet selalu saja ruangannya ditebari beras kuning dan kembang. Petugas pengadilan memang pernah mencoba menangkap dua pengendara motor, yang mencoba memasuki halaman pengadilan, pada suatu malam menjelang Zonet diadili untuk kesekian kalinya. Tapi pengendara motor itu berhasil kabur. Nyoman Rai mengaku tidak takut menghadapi guna-guna itu. Vonisnya tetap berat Zonet dihukum 6 tahun penjara. "Tapi, sebagai orang yang berasal dari Bali, saya percaya penebaran kembang-kembang semacam itu mempunyai maksud tertentu. Karena itu, terus terang, saya - seperti kebiasaa orang Bali - melakukan upacara kecil-kecilan di rumah," ujar Nyoman Rai. Memang banyak hakim yang mengalami ancaman dalam berbagai bentuk ketika menangani kasus-kasus tertentu. "Ancaman ini sedikitnya tentu mempengaruhi juga pelaksanaan tugas. Hakim, bagaimanapun, 'kan manusia biasa juga," ujar seorang hakim. Tapi, ketika ramai-ramainya soal Contempt of Court didiskusikan dan seminarkan oleh Ikatan Hakim Indonesia dan LBH Jakarta Maret lalu, soal ancaman ini tidak pernah disinggung-singgung. Belum serius, atau lupa 'kali. Karni Ilyas Laporan Bersihar Lubis (Medan) dan Aries Margono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini