Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB MDR) adalah salah satu penyakit yang sangat meresahkan sebab, secara umum, pasien MDR mengalami resisten terhadap dua obat anti TB lini pertama, yaitu Isoniazid dan Rifampicin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini adalah penyakit lanjutan dari TB reguler. Jadi istilahnya naik kelas tapi ke arah yang lebih parah,” kata Kepala Sub Direktorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan dokter Imran Pambudi dalam acara Training of Trainer TB-MDR di Jakarta pada Senin, 30 September 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena tingkatnya lebih tinggi daripada TB reguler, Imran pun mengatakan bahwa pengobatan yang dijalani berbeda. Dari segi obat-obatan, misalnya, seseorang yang telah dinyatakan TB MDR harus mengonsumsi lebih banyak obat daripada pasien TB reguler. Jenis obat yang diminum juga berbeda karena harus menggunakan obat TB lini kedua.
“TB MDR karena sudah resisten dengan obat lini pertama, mana harus diberi obat yang lebih kuat, yaitu lini kedua yang terdiri dari Ofloksasin, Kanamin, dan Siprofloksasin,” katanya.
Penderita TBC. REUTERS/Minzayar
Selain itu, waktu pengobatan cenderung lebih lama dari TB reguler. Umumnya, pasien TB reguler akan menjalani pengobatan selama sembilan hingga 12 bulan tanpa henti. Namun, untuk pasien yang sudah resisten alias TB MDR, waktu yang diperlukan adalah selama 19 hingga 24 bulan dan juga secara terus menerus.
“Waktunya memang lebih lama karena bakteri sudah kebal dengan obat sehingga selain dilawan dengan obat yang lebih kuat dan banyak, durasi minum obatnya juga harus lama,” jelasnya.
Terakhir, penyuntikan obat juga dilakukan dengan jumlah yang lebih banyak. Apabila pasien TB reguler hanya membutuhkan suntik selama empat bulan, TB MDR lebih lama dua kali lipat alias delapan bulan.
“Kami akan menyuntikan Kanamisin atau Amikasin dan Kapreomisin sebagai rangkaian pengobatan yang sempurna,” katanya.