Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gempa Lombok terjadi pada Ahad 5 Agustus 2018 dengan kekuatan paling besar 7 skala richter. Gempa susulan pun sempat terjadi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendata hingga 6 Agustus 2018 pukul 10.00 WIB, tercatat 91 orang meninggal dunia, 209 orang luka-luka, ribuan jiwa masyarakat mengungsi dan ribuan rumah rusak. Diperkirakan jumlah korban dan kerusakan akibat dampak gempa Lombok ini akan terus bertambah.
Baca: Liburan di Bali, Ini Efek Gempa Lombok pada Ayudia Bing Slamet
Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak paham menghadapi situasi bencana. Mereka tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Umumnya hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang siaga bencana. Ditambah lagi dengan panik yang melanda, membuat badan tidak memberikan respon seharusnya untuk menyelamatkan diri dan akhirnya hal yang seharusnya diprioritaskan justru terlupakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Psikolog Pendidikan dan Inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, Karina Adistiana mengatakan saat bencana terjadi, terkadang orang dewasa lupa untuk menyelamatkan anak kecil. Padahal anak kecil menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan saat terjadi bencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karina mengatakan masyarakat Indonesia seharusnya memiliki pengetahuan tentang siaga bencana sejak anak usia dini. Maklum, Indonesia adalah negara dengan risiko tinggi bencana alam. "Memang ada beberapa simulasi siaga bencana yang dilakukan. Tapi kegiatan itu tidak berlangsung terus menerus dan sangat jarang," katanya saat dihubungi 6 Agustus 2018.
Karina bekerja sama dengan Kelompok Riset Kesehatan Mental Komunitas Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan didukung oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia berkolaborasi mengenalkan program siaga bencana pada anak usia dini. Program ini berupaya untuk menyampaikan pesan kesiagaan bencana melalui lagu dan gerak. Ia menilai musik dan gerakannya adalah cara yang efektif untuk menyampaikan pesan pada anak sesuai dengan tahap perkembangannya. Ditambah lagi, musik dan gerak merupakan hal yang menyenangkan bagi anak, sehingga anak bersemangat untuk mengikuti program ini.Ilustrasi gempa. geo.tv
Salah satu negara yang telah berhasil mengenalkan program siaga bencana pada anak usia dini adalah Taiwan. Karina dan timnya sempat menghadiri International Conference on School's Disaster Risk Reduction and Resilience Education in Practice (ICSDRR) dan mengikuti kunjungan sekolah di Taiwan pada tanggal 11-13 April 2018. Di Taiwan, pengenalan siaga bencana menjadi bagian dari kurikulum pendidikan anak usia dini. Di sana, pengetahuan siaga bencana dikenalkan dimulai dari menumbuhkan kecintaan terhadap alam. Dengan begitu, anak lebih mengerti tentang penerimaan bencana yang terjadi di lingkungan mereka. "Hal ini bisa membantu mengurangi trauma pasca bencana pada anak," katanya.
Karina sempat mengunjungi salah satu sekolah Pendidikan Anak Usia Dini yang menerapkan kesiagaan bencana. Saat itu, Karina melihat simulasi anak-anak usia 2-3 tahun melakukan simulasi siaga bencana. Taiwan adalah negara yang rawan terkena topan. "Saat bel darurat berbunyi, anak-anak 2-3 tahun itu langsung ambil topi pelindung dan berjalan tertib tanpa suara ke luar ruangan titik kumpul dalam waktu kurang dari 1 menit. Itu kan hebat," katanya kagum melihat kegiatan sebulan sekali itu.
Karina mengatakan Indonesia perlu mencontoh metode itu. Maklum saat alarm darurat berbunyi, biasanya para pelajar Indonesia banyak yang berlarian dan berhamburan secara tidak tertib. "Bahkan sering kali, gurunya malah tidak tahu apa yang harus dilakukan," katanya.
Baca: Gempa Lombok, 4 Prinsip Keamanan Jepang yang Bisa Dicontoh
Pelajaran siaga bencana, kata Karina sebaiknya diajarkan secara berkelanjutan agar masyarakat, khususnya anak-anak ingat dan terbiasa. Dengan begitu, bila ada bencana seperti Gempa Lombok, maka masyarakat akan lebih awas dengan menyelamatkan yang lebih prioritas.