Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Obat antidepresan sudah ada sejak lama dan ampuh diresepkan untuk pereda depresi atau kecemasan. Di sisi lain, menurut para ahli medis, penggunaan jangka panjang obat antidepresan bisa menimbulkan beberapa risiko gangguan otak dan tubuh secara keseluruhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang profesor perawatan primer di University of Southampton, Tony Kendrick, mengatakan, mengkonsumsi antidepresan jangka panjang memang memberi manfaat. Tetapi setelah dua tahun tidak ada bukti bahwa antidepresan membuat pasien tetap sehat. “Efeknya justru bisa permanen,” kata Kendrick dikutip dari News Sky.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut analisis Kendrick, beberapa efek jangka panjang obat antidepresan di antaranya mengalami peningkatan risiko stroke, pendarahan di perut, pendarahan otak, hingga epilepsi. “Jika itu menyebabkan efek stroke hingga gangguan ginjal, akan terungkap seiring bertambahnya usia dan sulit untuk mengobatinya,” ujarnya.
Sementara Joanna Moncrieff, dosen klinis di University College London, percaya bahwa tingkat keparahan dan durasi gejala penarikan antidepresan sebagai indikasi obat tersebut telah mengubah cara kerja tubuh. Dia mencontohkan seperti antipsikotik yang mampu mengubah otak dengan cara yang membuat kecanduan.
“Usaha penarikan antidepresan yang begitu lama menunjukkan obat tersebut telah mengubah otak dan perubahan tersebut membutuhkan waktu sangat lama untuk kembali normal dan mungkin mereka tidak bisa kembali normal,” kata Moncrieff dikutip dari sumber yang sama.
Penelitian pada 2016 di School of Psychology, University of Auckland, New Zealand, menemukan setidaknya delapan efek samping dari pemakaian obat antidepresan jangka panjang. Antara lain sebagai berikut:
- Masalah seksual (72 persen), termasuk ketidakmampuan mencapai orgasme (65 persen)
- Penambahan berat badan (65 persen)
- Merasa mati rasa secara emosional (65 persen)
- Tidak merasa seperti diri mereka sendiri (54 persen)
- Perasaan positif berkurang (46 persen)
- Merasa seperti kecanduan (43 persen)
- Kurang peduli dengan orang lain (36 persen)
- Merasa ingin bunuh diri (36 persen).
Beberapa penelitian lain juga telah mencatat apa yang tampaknya menjadi hubungan antara penggunaan antidepresan dan masalah regulasi gula darah, termasuk diabetes tipe 2. Tinjauan sistematis yang diterbitkan dalam jurnal Diabetes Care edisi 2013 meneliti hubungan ini untuk lebih memahami apa yang sedang terjadi.
Mereka mengamati 22 studi, termasuk pasangan dengan lebih dari 4.000 peserta. Berikut ini beberapa temuan yang mendorong peninjauan:
- Antidepresan dapat memperburuk kontrol gula darah karena dapat menyebabkan kenaikan berat badan yang signifikan.
- SSRI dan Pamelor (nortriptyline) dilaporkan memperburuk kontrol gula darah pada penderita diabetes.
- Antidepresan trisiklik menyebabkan hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) pada manusia.
- Pada tikus, antidepresan trisiklik menyebabkan kondisi yang disebut hiperinsulinemia.
HARIS SETYAWAN