Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kebiasaan Masyarakat yang Ikut Memicu Penyebaran Demam Berdarah

Dokter menyebut kebiasaan sering menampung air dan kurang menerapkan kebersihan menjadi salah satu faktor risiko penyebaran demam berdarah.

20 Juni 2024 | 21.57 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas fogging Puskesmas Palmerah melakukan foging di kawasan Palmerah, Jakarta, Selasa 14 Mei 2024. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI menyebut ada mekanisme dalam proses pengasapan atau fogging untuk mencegah meningkatnya kasus demam berdarah dengue (DBD). Kasus DBD di DKI terbanyak di wilayah Jakarta Barat, ada 526 kasus DBD terjadi pada anak-anak hingga dewasa. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Kerja Arbovirosis Kementerian Kesehatan, dr. Asik Surya, menyebut kebiasaan sering menampung air dan kurang menerapkan kebersihan menjadi salah satu faktor risiko penyebaran demam berdarah. Ia menjelaskan ada orang yang tidak menguras kontainer atau dispenser sehingga menjadi tempat berkembang biak nyamuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Di hotel pun kadang-kadang juga ada yang menggunakan vas bunga. Coba dilihat, kadang-kadang saya pernah menemui, saya tidak perlu menyebutkan hotelnya, tetapi itu hotel bintang 4. Ada jentik-jentiknya di situ, itu juga bahaya," ujarnya dalam bincang "Tanda Bahaya DBD. Kenali Sebelum Terlambat!" yang disiarkan Kementerian Kesehatan, Kamis, 20 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musim hujan membuat tempat nyamuk bertelur semakin banyak sehingga kasus demam berdarah pun naik. Asik juga menyebutkan sejumlah faktor risiko lain, seperti posisi Indonesia sebagai negara tropis yang menyebabkan DBD menjadi penyakit endemik di hampir seluruh wilayah, terutama di perkotaan.

"Kemudian yang kedua tentu kepadatan penduduk. Di daerah-daerah perkotaan begitu padat dan juga banyak penampungan-penampungan air. Itu juga akan menjadi persoalan ketika drainase jelek dan sebagainya," jelasnya.

Perlu peran semua pihak
Asik mengatakan karena pemanasan global, DB pun mulai muncul di daerah dataran tinggi seperti Papua Pegunungan. Menurutnya, apabila sudah mengetahui faktor-faktor risiko tersebut maka masyarakat harus mengambil tindakan untuk mengendalikannya. Dia menilai upaya pengendalian bukan oleh pemerintah saja namun juga semua orang.

Sementara itu, ketua Staf Medik Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dr. Mulya Rahma Karyanti, mengatakan meski penyakit tersebut banyak menyerang anak berusia 5-15 tahun, semua orang juga berisiko terkena. Karyanti menyebut apabila tidak ditangani maka DB dapat mengakibatkan kematian. Dia menjelaskan pada fase kritis terjadi kebocoran pembuluh darah hingga kolaps sehingga aliran darah terganggu.

"Yang bahaya adalah kalau misalnya sampai kolapsnya berat sampai aliran darah ke otak, ke jantung berkurang. Itu bisa menyebabkan pendarahan dan kematian," sebutnya.

Karena itu, penting untuk waspada atas sejumlah gejala demam berdarah seperti nyeri perut apabila hari ketiga demam kondisi tidak kunjung membaik, muntah-muntah terus, atau pendarahan spontan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus