Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kisah mereka yang mempraktikkan gaya hidup minimalis
Ada yang terinsipirasi film, ada pula karena masalah personal
Tidak perlu sayang menyingkirkan barang yang tak lagi terpakai
Berbenah agar Hidup Lebih Genah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
-------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gaya hidup minimalis tak hanya membuat rumah menjadi rapi, tapi juga sekaligus membuat pikiran dan mood penghuninya menjadi lebih baik. Sejumlah orang mempraktikkan gaya hidup minimalis berangkat dari masalah masing-masing. Ada pula yang membagikan pengalaman berbenah itu lewat media sosial dan membuat komunitas untuk memberi inspirasi kepada orang lain.
------------------
Hampir setahun berdiam di rumah akibat pandemi Covid-19, Odie Banoreza jadi lebih memperhatikan kondisi tempat tinggalnya. Salah satu hal yang mengganggu pikirannya adalah betapa rumahnya dipenuhi barang-barang yang tak lagi terpakai. Di salah satu ruangan, misalnya, ada lemari tua dan meja kerja untuk menaruh barang-barang yang juga sudah tak berguna, seperti tumpukan kertas dan dokumen.
Padahal, ruangan gudang itu, menurut pria yang berprofesi sebagai arsitek tersebut, bisa dimanfaatkan untuk ruang bermain anaknya yang berusia balita. "Kasihan lihat anak tidak punya tempat bermain yang nyaman,” kata pria berusia 33 tahun itu kepada Tempo, Rabu lalu. Odie semakin termotivasi untuk merapikan ruangan itu setelah menonton film dokumenter tentang gaya hidup minimalis, The Minimalist: Less Is Now, di Netflix.
Dari film tentang konsep gaya hidup minimalis yang digagas penulis asal Amerika Serikat, Joshua Millburn dan Ryan Nicodemus, itu, Odie mengaku menemukan beberapa hal penting yang relevan dengan dirinya. Terutama soal konsep agar kita tidak terlalu terikat pada benda-benda yang kita miliki. "Salah satu gagasan yang diangkat dalam film tersebut adalah jika ada satu barang di rumah kita yang dalam tiga bulan berturut-turut tak pernah kita gunakan, sebetulnya kita tak membutuhkan barang tersebut.”
Arsitek, Odie Banoreza, salah satu pelaku gaya hidup minimalis. Dok. Pribadi
Di rumah Odie, banyak barang masuk kategori itu. Yang paling banyak, ujar dia, adalah kertas-kertas dan dokumen berisi sketsa-sketsa atau coretan rancangan bangunan. "Dokumen-dokumen itu gue simpen karena merasa bakal terpakai nantinya. Tapi ternyata sudah bertahun-tahun malah semakin menumpuk dan tak pernah gue sentuh.” Ada juga beberapa benda koleksi yang tak lagi ia gunakan, tapi masih disimpan tanpa alasan yang jelas, seperti sepatu yang sudah rusak.
Odie mulai membenahi rumahnya pada akhir 2020. Meski dilakukan secara bertahap, ia mulai terbiasa "menyingkirkan” barang-barang usang dari gudang rumahnya. Cita-citanya untuk menyediakan ruang bermain bagi anaknya pun sudah tercapai. "Sekarang rumah jadi lebih lega. Perasaan juga ikut lega.”
***
Kebiasaan berbenah rumah dan sikap untuk berani "membuang” barang yang tak lagi digunakan merupakan salah satu ajaran dalam konsep hidup minimalis yang populer sejak tiga tahun terakhir. Sejak 2017-2018, sejumlah media massa internasional mulai rutin menyoroti gaya hidup yang populer di sejumlah negara. Selain konsep minimalis yang digagas Joshua Millburn dan Ryan Nicodemus, ada teknik berbenah KonMari yang dipopulerkan penulis asal Jepang, Marie Kondo.
Di Tanah Air, gagasan untuk menjalani gaya hidup minimalis juga muncul lewat sejumlah komunitas. Salah satunya adalah Lyfe With Less yang diinisiasi Cynthia S. Lestari. Perempuan berusia 26 tahun itu mempraktikkan gaya hidup minimalis sejak 2018. Ia memulai gaya hidup ini atas inisiatif sendiri. "Waktu itu gue malah belum tahu soal metode KonMari atau konsep minimalis ala Joshua Milburn,” kata Cynthia saat dihubungi pada Rabu lalu.
Cynthia, yang saat itu berusia 23 tahun, menghadapi sejumlah krisis dalam kehidupannya. "Sejumlah masalah seolah-olah datang bertubi-tubi, dari persoalan finansial, karier, hingga masalah keluarga. Istilahnya, gue mengalami quarter life crisis.” Aneka masalah itu membuat hidupnya tak tenang. Ia pun jadi mempertanyakan tujuan hidupnya. Pada saat yang sama, ia menyadari bahwa salah satu persoalan besar yang membebani hidupnya adalah sifat konsumtif dan boros.
Inisiator komunitas pelaku gaya hidup minimalis, Lyfe With Less, Cynthia S Lestari (kedua dari kanan). Dok. Pribadi
Sebagai perempuan lajang yang sudah punya penghasilan sendiri, Cynthia punya prinsip bahwa ia harus memanjakan dirinya dengan berbelanja barang-barang yang diinginkan. "Kebetulan waktu itu lagi tren banget beauty vlogger yang merekomendasikan produk-produk kecantikan dan perawatan tubuh,” ujarnya. Dia terpengaruh oleh konten-konten itu dan senang berbelanja produk-produk tersebut meski harganya mahal. "Belum lagi dorongan untuk pergi jalan-jalan, meski harus membayar pakai kartu kredit.”
Saat sedang bersedih akibat berbagai tekanan, Cynthia menyadari bahwa kebiasaannya berbelanja ataupun berlibur tak banyak membantu menyelesaikan masalah. Malah tagihan kartu kreditnya membengkak. Sampai suatu hari, Cynthia bersama salah seorang teman indekosnya berinisiatif membereskan kamar kos mereka. "Tiba-tiba tergerak ingin beberes kamar. Barang-barang dikeluarkan semua, lalu dipilah mana yang masih dipakai atau enggak.” Setelah membenahi kamarnya, Cynthia merasa lega dan menemukan sedikit kepuasan.
Selain kamarnya lebih rapi, Cynthia mendapatkan uang dari barang-barang miliknya yang dijual kembali. "Seminggu setelah beberes dan menjual barang bekas, gue bisa dapet uang Rp 500 ribuan.” Ia jadi semakin termotivasi menyeleksi barang-barang yang bisa ia jual kembali. Tiga bulan kemudian, Cynthia menghitung pendapatannya dari menjual barang bekas, yakni mencapai Rp 6 juta.
Kesenangan bukan hanya karena mendapat cuan. Cynthia merasa aktivitasnya itu mampu membangkitkan mood-nya jadi lebih baik. “Pikiran dan hati jadi lega.” Ia pun menyadari bahwa salah satu sumber beban pikirannya adalah tumpukan barang di kamarnya yang membuat sesak. Karena kamarnya telah rapi, Cynthia jadi lebih betah berdiam di kamar. Waktu luangnya ia gunakan untuk memikirkan solusi atas berbagai persoalan yang tengah ia hadapi.
Cynthia menggunakan aktivitas beberes—populer disebut decluttering atau memilah barang-barang tak terpakai—jadi semacam terapi untuk memulihkan mentalnya. Karena merasa banyak terbantu, ia pun menuangkan perjalanan hidupnya itu dalam konten media sosial lewat akun @lyfewithless dan blog. "Gue ingin membagikan pengalaman ini ke orang lain karena bisa jadi bermanfaat dan menginspirasi.”
Dugaan Cynthia benar. Banyak orang seusianya yang mengalami persoalan mirip, dan ternyata merasa terbantu setelah mulai membereskan barang-barang yang dimiliki. Lyfe With Less pun jadi semacam komunitas. Kini pengikut Lyfe With Less di Instagram sudah hampir 24 ribu akun. Dalam perjalanan membesarkan komunitas ini, Cynthia mulai berkenalan dengan konsep-konsep gaya hidup minimalis lainnya.
Sesi pertemuan komunitas Lyfe With Less di Jakarta, Februari 2020. Dok. Lyfe With Less
Kini Cynthia sudah tak menganggap minimalis sebagai gaya hidup, melainkan memang jalan hidupnya. Dari sekadar punya kebiasaan beberes dan menahan keinginan berbelanja secara impulsif, Cynthia jadi lebih sadar dalam mengkonsumsi berbagai benda. Untuk urusan busana, misalnya, Cynthia hampir tak pernah lagi beli baju baru, melainkan membeli pakaian bekas yang masih layak. “Mungkin 98 persen isi lemari gue baju-baju preloved.”
Sebelum membeli barang "baru” pun ia menjual dulu barang serupa yang ia miliki. Ia juga lebih sadar lingkungan dengan mengkonsumsi produk-produk ramah lingkungan dan belajar menerapkan gaya hidup minim sampah di rumahnya. Hal positif lainnya, ia tak mudah termakan tren. "Sekadar tahu, tapi jadi tidak harus punya barang-barang atau terpengaruh ikut hobi yang lagi ramai.”
Hasilnya, ia bisa hidup lebih hemat, bebas dari utang, dan menabung. "Dulu biaya menikah gue sebagian besar dari tabungan hasil berhemat setelah menjalani hidup minimalis.”*
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo