Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kue Lebaran dan Makna Toleransi di Baliknya

Aneka kue Lebaran atau kue kering yang renyah dan nikmat itu ternyata memiliki makna toleransi di baliknya. Seperti apa?

2 Mei 2022 | 13.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, mengatakan kue Lebaran seperti nastar, kastengel, lidah kucing, dan putri salju memiliki makna toleransi di baliknya. Ia menjelaskan kue kering tersebut mulanya dikenal pada masa kolonial melalui pertukaran hantaran dari keluarga Eropa untuk keluarga priyayi yang merayakan Idul Fitri. Kue-kue kering itu juga menjadi kudapan yang biasa dihidangkan pada hari-hari perayaan umat Nasrani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kue-kue kering ini disajikan ketika keluarga-keluarga priyayi merayakan Lebaran dan di sini juga ada antar-mengantar ketika Lebaran. Keluarga-keluarga Eropa mengantarkan makanan seperti kue-kue kering ini untuk keluarga priyayi," kata Fadly.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengatakan kue kering yang diadopsi dari kalangan Eropa tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, bahan, dan rasa yang berbeda dengan aslinya. Kastengel (kaasstengels dalam bahasa Belanda), misalnya, memiliki bentuk yang lebih panjang dalam versi aslinya. Selain bentuk, Fadly mengatakan kualitas keju yang digunakan pada kastengel di Belanda dan Hindia Belanda juga memiliki perbedaan.

Nastar terinspirasi kue pai atau tar Eropa yang biasanya diisi dengan bluberi dan apel. Nastar berasal dari dua kata dalam bahasa Belanda yaitu ananas (nanas) dan taart (pie). Fadly mengatakan nastar merupakan inovasi yang dibuat oleh para perempuan Belanda yang menetap di Hindia Belanda. Kala itu, mereka memanfaatkan buah nanas yang hanya tumbuh di daerah tropis sebagai pengganti isian kue.

"Itu ada proses modifikasi, artinya di tangan orang-orang di Hindia Belanda berbeda dengan apa yang dihasilkan di Belanda. Kalau kita perhatikan bentuk nastar dan kastengel yang ada di Belanda itu berbeda," ujarnya.

Selain keluarga Eropa, Fadly menambahkan kalangan yang mengonsumsi kue-kue kering itu mulanya hanya keluarga priyayi atau ningrat sebab mereka lah yang memiliki akses hubungan dengan orang-orang Eropa sehingga kemudian dibuat di rumah-rumah tangga pribumi kebanyakan.

"Pada masa itu, antara keluarga priyayi dan keluarga Eropa memiliki hubungan yang berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi, atau bisnis. Itu memang membuka hubungan yang terbuka dalam kaitan antar-mengantarkan makanan," kata Fadly.

Tradisi hantaran tak hanya terjadi saat Idul Fitri. Sebaliknya, ketika hari raya orang-orang Eropa tiba, seperti Natal, maka keluarga pribumi juga turut mengantarkan makanan tradisional.

"Jadi, tidak heran kalau pada masa kolonial orang Eropa juga mengenal makanan-makanan khas pribumi, seperti tertulis dalam buku-buku masakan berbahasa Belanda. Mereka bukan hanya menikmati makanan Eropa tapi juga apa yang dinikmati pribumi," kata Fadly.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus