Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua lembar kertas dibawa Yanto pada saat keluar dari ruang konsultasi dokter. Selembar kertas berupa resep obat dari dokter yang harus dia tebus di apotek. Satu lagi dimasukkan ke saku kemeja-nya. Sepotong kertas kecil sedikit lecek itu penuh dengan coretan tulisan tangan. Isi tulisan: satu buah biji alpukat dipotong-potong, dikeringkan, direbus, diminum airnya. ”Ini dari dokter, katanya bagus buat kencing manis,” katanya.
Lho, dokter kok memberikan obat tradisional? Jangan curiga dulu. Ini memang merupakan ciri khas puskesmas Kelurahan Sunter Agung Dua, Jakarta Utara. Puskesmas yang berada di tengah-tengah perumahan mewah itu menawarkan sesuatu yang berbeda, yaitu pilihan terapi pengobatan dengan ramuan tradisional—selain terapi dokter. Di sekeliling gedung puskesmas bertingkat tiga itu tumbuh aneka ragam tanaman obat. Tak mengherankan bila sejak empat tahun lalu puskesmas ini menjadi proyek percontohan tanaman herbal.
Setiawan Dalimartha, dokter puskesmas yang getol berbagi pengetahuan tentang ramuan obat herbal, mengatakan bahwa penggunaan pengobatan ala Timur ini bukan untuk menggantikan posisi pengobatan Barat, tapi untuk pelengkap saja. ”Ada pasien yang tidak bisa lagi minum obat karena muncul komplikasi. Kita tawarkan ramuan herbal yang sesuai dengan penyakitnya,” kata dokter yang rajin mempopulerkan pengobatan herbal lewat tulisan-tulisan yang diterbitkan dalam bentuk buku. Setiawan yakin, kombinasi pengobatan yang saling melengkapi penting dilakukan, karena tiap ilmu—pengobatan ala Barat dan Timur—punya keterbatasan.
Penggunaan ramuan tradisional memang tak bisa diidentikkan dengan kemunduran atau kembali ke masa lalu. Fenomena ini malah bisa dilihat sebagai terbukanya pandangan kedokteran Barat terhadap hal yang selama ini mereka anggap ”tradisional” dan tidak ilmiah.
Kini bisa dilihat di sejumlah negara maju Barat seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat, ilmu kedokteran Timur, terutama herbal dan akupunktur, telah berkembang sangat maju. Pun ilmu ini sudah diakui dalam sistem pelayanan kesehatan modern. Dokternya pun ada. Berbagai uji klinis dan penelitian ilmiah kerap dilakukan untuk mengembangkan teknik pengobatan ala Timur ini. Dalam penerapannya, teknik pengobatan Timur kerap terintegrasi dengan kedokteran Barat.
Tengok saja Rumah Sakit Raffles, Singapura, yang memiliki pusat pengobatan tradisional Cina (Traditional Chinese Medicine atau TCM). Di rumah sakit berfasilitas modern itu, terapi akupunktur dan obat herbal asli Cina digunakan sebagai pelengkap terapi medis modern. Fungsinya untuk membantu pasien mendapat perawatan pemulihan kesehatan.
Di Indonesia, sejumlah rumah sakit sebenarnya sudah menerapkan hal serupa. Sebut saja Rumah Sakit Dharmais dan Persahabatan, Jakarta, RSUD dr. Soetomo Surabaya, dan RS Kandou di Sulawesi Utara. ”Kecuali Rumah Sakit dr. Soetomo, yang lain kebanyakan baru sebatas pelayanan akupunktur,” ujar Setiawan. Departemen Kesehatan pun sudah membentuk Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T) di 12 provinsi, meskipun belum berfungsi optimal.
Setiawan menjelaskan, salah satu penyebab kurang berkembanganya pengobatan ala Timur di Indonesia adalah sedikitnya dokter yang tertarik mempelajari bidang ini. Yang berkembang hingga saat ini kebanyakan adalah pusat pengobatan alternatif yang menawarkan berbagai metode dan obat. Praktek dukun juga masih marak.
Akibatnya, pengobatan jenis alternatif ini kurang mendapat kontrol medis yang benar. Meskipun ada ahli pengobatan yang memiliki terapi cespleng, banyak juga yang tidak memahami anatomi tubuh manusia. ”Mereka membuat ramuan cuma berdasarkan kira-kira, tidak ada tolok ukur jelas, tapi klaimnya berlebihan, bisa mengobati segala macam penyakit,” kata Setiawan.
Nah, memasukkan berbagai terapi pengobatan Timur ke layanan rumah sakit adalah salah satu cara mengimbangi praktek pengobatan alternatif yang berserakan. Masyarakat jadi punya pilihan: setelah berobat ke dokter, lalu dapat memilih pengobatan tradisional. Dan itu dijamin aman.
Namun masuknya pelayanan pengobatan Timur di rumah sakit tidaklah mulus. Dokter yang mendasarkan diri pada ilmu kedokteran Barat juga masih banyak yang tak setuju. Mereka menganggap koleganya yang belajar ilmu kedokteran Timur hanyalah dukun. ”Pro dan kontra tetap ada, karena herbal ini kan tidak diajarkan di fakultas kedokteran,” jelas Setiawan.
Menurut Hardhi Pranata, dokter spesialis saraf yang juga mendalami pengobatan Timur, yang paling baik adalah bila terapi herbal dan pengobatan Timur lainnya dilakukan dokter. Karena praktek kedokteran Timur yang dilakukan tanpa dilandasi proses rasional dan keilmuan bisa menimbulkan efek buruk. ”Artinya, orang berhenti pakai obat herbal karena keracunan, tidak sembuh, dan sebagainya,” katanya.
Untuk mendorong minat dokter mendalami pengobatan Timur, rencananya segera dirintis kerja sama antara Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Beijing University of Chinese Medicine. ”Nota kesepahaman diharapkan bisa ditandatangani pada Maret ini,” kata Hardhi, yang ditugasi menjajaki kemungkinan tersebut.
Lewat kerja sama itu nantinya akan terjadi proses transfer ilmu lewat program pertukaran mahasiswa. Pun diharapkan terjadi pengembangan riset obat biofarmaka (obat berbahan herbal, binatang, atau mineral) agar makin modern, diakui, dan diresepkan dokter.
Hardhi, yang diangkat Beijing University of Chinese Medicine sebagai profesor emeritus, juga berniat mengumpulkan dewan pakar internasional dan nasional. Dewan itulah yang dapat memberikan sertifikasi kepada para dokter agar mereka dapat menggunakan bahan biofarmaka tanpa rasa waswas. Maklum, bila tidak ada sertifikasi, dokter yang menggunakan bahan herbal sebagai obat bisa-bisa dituduh melakukan malpraktek.
Kerja sama itu memang terutama diharapkan membantu peningkatan penelitian biofarmaka di Indonesia. Apalagi Indonesia punya potensi sangat besar menghasilkan produk obat herbal karena bumi di sini kaya tanaman berkhasiat. Jumlahnya tak kurang dari 9.606 spesies. Dari jumlah itu, baru 350 spesies yang teridentifikasi dan hanya 3-4 persen yang sudah dimanfaatkan dan dibudidayakan secara komersial. Itu semua akibat keterbatasan dana yang mendukung penelitian.
”Dana dari pemerintah hanya turun tak lebih dari 50 persen, tiap kali kami mengajukan proporsal penelitian,” tutur Djarot Sudiro, herbalog Poliklinik Komplementer dan Alternatif RSUD dr. Soetomo Surabaya. Itu pun jumlahnya tak memadai. Padahal untuk satu kali penelitian biayanya lebih dari Rp 1 miliar. Untuk menyiasatinya dan menekan harga obat yang dijual, mereka mengandalkan hasil penelitian dari luar negeri yang kemudian dipadukan dengan hasil penelitian mereka sendiri. Inilah Indonesia. Ilmu kedokteran Timur terbengkalai di negara Timur.
Nunuy Nurhayati, Rohman Taufik (Surabaya)
Kedokteran Timur di Indonesia
Pengobatan kedokteran Timur dikategorikan sebagai pengobatan komplementer dan alternatif di bawah pembinaan Dirjen Pelayanan Medik Dasar, terdiri dari:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo