Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komik menjadi bagian dari masa kecil Najma Asshiddiqie. Ilustrator berusia 21 tahun itu punya seabrek buku cerita, tapi ada satu bagian dari komik Hai, Miiko! yang tak pernah dia lupakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada volume 17, komik serial karya komikus Jepang, Ono Eriko, itu menceritakan Miiko, siswa kelas V sekolah dasar, melancong ke Hiroshima. Dia bertemu dengan Chieko, kelas I SD, yang mencari-cari kakaknya. Belakangan, Miiko baru tahu bahwa teman barunya itu adalah arwah korban bom atom Hiroshima. Kakak Chieko selamat dari tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 6 Agustus 1945 itu karena sekolah meminta anak kelas IV SD ke atas mengungsi ke luar kota. Sedangkan anak kelas I-III SD diminta tetap berada di kota supaya "dekat dengan orang tua". "Sedih banget. Penyampaian Ono Eriko bikin otak anak kecil saya menangkap maksudnya," ujar Najma, warga Bandung, kemarin, 9 Agustus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komik "Hai Miiko" Vol. 17, cerita "Anak Hiroshima". Dokumentasi Aliefia Augustine
Najma juga tak kuasa membayangkan akhir hayat anak-anak Hiroshima Nagasaki saat membaca bagaimana para guru menenangkan murid-murid mereka ketika bom atom meledak. "Cara Ono Eriko menggambarkan suasana itu membuat sejarah ini lebih personal dan menimbulkan empati," kata Najma.
Bom atom yang mengakhiri Perang Dunia II itu merupakan sejarah kelam kemanusiaan. Sedikitnya 135 ribu orang meninggal di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan 64 ribu orang tewas di Nagasaki tiga hari kemudian.
Ada sekitar 120 ribu jiwa di Hiroshima dan 131 ribu jiwa di Nagasaki yang selamat dari ledakan bom atom Little Boy dan Fat Man tersebut. Orang-orang tersebut, termasuk bayi-bayi yang saat itu masih berada di kandungan—atau disebut dengan hibakusha—terpapar radioaktif. Meski selamat, mayoritas dari mereka menjadi cacat atau terkena penyakit akibat radiasi nuklir di kemudian hari.
Kisah para hibakusha lebih jelas diceritakan melalui komik Gen Si Kaki Ayam karya Keiji Nakazawa. Emosi Abdul Raub, 33 tahun, sangat tersentuh oleh kisah Gen Nakaoka sampai mengoleksi lengkap dari volume 1 hingga 20. "Kita bisa tertawa terpingkal-pingkal. Tapi, di satu sisi, ada kisah menderitanya keluarga (Gen Nakaoka) berjuang melanjutkan hidup," kata warga Jakarta itu.
Komik Gen Si Kaki Ayam karya Keiji Nakazawa. TEMPO/Ijar Karim
Komikus Keiji Nakazawa mengatakan Gen Si Kaki Ayam diambil dari kisah-kisah yang ia alami dan ketahui dari perjuangan warga Jepang yang terkena dampak bom atom Hiroshima. Penderitaan tokoh Gen, keluarga, teman-teman, dan masyarakat sekitar digambarkan secara detail. Dari kehilangan keluarga dan teman-teman terdekat yang meninggal akibat ledakan, pendek umur akibat radiasi, rasa benci terhadap tentara-tentara yang mengakibatkan peperangan, hingga perjuangan mendapat uang demi tetap hidup dengan masuk ke dunia hitam. "Ceritanya gampang banget dicerna, tapi ngena banget," kata Abdul.
Ia merasa cerita Gen Si Kaki Ayam mengajarkan pembaca ihwal bahaya perang dan siapa yang sebenarnya paling menderita akibat dampaknya. "Apalagi sampai ada bom atom atau nuklir yang jatuh di satu negara. Dampaknya bakal seperti itu," ujarnya.
Sejarah Hiroshima Lewat Lagu
Cerita lain didapat oleh Ebenhaezer Qlyon, musikus dan desainer asal Ragunan, Jakarta Selatan. Qlyon mengaku mendapat pengetahuan baru dari lagu Kenji ciptaan Mike Shinoda, mantan vokalis Linkin Park, dalam proyek solonya, Fort Minor, pada 2005. Lagu Kenji bercerita tentang kakek Shinoda sebagai generasi pertama imigran Jepang (issei) yang tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat.
Dalam lirik lagunya, Shinoda menceritakan situasi Perang Dunia II ketika warga Amerika yang berdarah Jepang dipaksa masuk ke kamp konsentrasi Manzanar. Orang-orang Jepang itu dijemput Biro Investigasi Federal AS (FBI) dan segera ditarik berpindah tanpa diberi waktu untuk mengemas barang-barang. Kehidupan di Manzanar penuh kepanikan dan rasa takut karena tentara AS tidak segan menembaki siapa pun yang terkesan mencurigakan atau menunjukkan usaha untuk kabur.
Satu-satunya pilihan bagi penghuni Manzanar untuk keluar adalah bergabung dengan tentara Amerika. "Some men went out for the army, signed on and ended up flying to Japan with a bomb," kata Shinoda.
Dia juga mengabadikan diskriminasi yang dialami warga keturunan Jepang di Amerika setelah Perang Dunia II berakhir. "Then they got back home and what they saw made him feel so alone. These people had trashed every room, smashed in the windows, and bashed in the doors. Written on the walls and the floor: Japs not welcome anymore!"
Qlyon merasa mendapat informasi lebih banyak dari lagu semacam itu ketimbang dari pelajaran sejarah. Pada periode 1945, buku teks pelajaran sejarah lebih berfokus pada penjajahan Jepang di Indonesia. "Malah kita (seolah-olah) merayakan saat Jepang dibom karena setelah itu kita bisa merdeka," kata Qlyon.
Mendorong Semangat Belajar
Qlyon merasa belajar sejarah melalui produk budaya pop memberikan perspektif baru dengan pengemasan yang mudah dipahami. Ia juga senang akan pengemasannya yang mudah diterima. "Yang paling gue suka dari belajar dari pop culture adalah gue akan kepancing untuk cari buku, cari fakta, enggak stop di situ doang," ujar Qlyon.
NATHANIA S. ALEXANDRA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo