Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Istilah down syndrome atau sindrom down sudah tak asing di telinga. Sebagian orang awam menganggap penderita sindrom ini sebagai penyakit keturunan atau kelainan mental, benarkah? Apa itu down syndrome?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir dari laman kesehatan WebMD, down syndrome dijelaskan sebagai suatu kondisi genetik yang menyebabkan masalah fisik dan perkembangan manusia. Penyebab dari masalah kesehatan ini ialah adanya kromosom ekstra pada tubuh penderitanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca : Balita Penderita Down Syndrome Jadi Korban Tewas Serangan Rusia
Jumlah kromosom pada manusia biasa mestinya sebanyak 23 pasang, namun penderita down syndrome memiliki tambahan pada kromosom nomor 21. Perbedaan jumlah kromosom ini berpengaruh pada kemampuan mental penderitanya.
Kebanyakan orang dengan down syndrome memiliki masalah dalam pemahaman, penalaran, dan pemikirannya. Mereka membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan manusia pada umumnya untuk dapat berbicara, berjalan, dan mencapai perkembangan lainnya.
Gejala down syndrome
Kondisi genetik yang bisa berada pada tahap ringan hingga serius ini memiliki berbagai gejala umum yang dapat dilihat secara fisik, antara lain:
- Tangan, kaki, jemari, dan telinga kecil
- Perawakan tubuh dan leher pendek
- Mata miring ke atas di sudut luar
- Wajah dan hidung lebih rata
- Lidah menonjol
- Bintik-bintik putih kecil di bagian gelap mata
- Sendi longgar dan otot lemah
Selain gejala-gejala di atas, penderita down syndrome juga lebih berisiko memiliki masalah kesehatan lain ketimbang manusia pada biasanya. Bagian tubuh yang berpontensi bermasalah umumnya adalah pendengaran, pengelihatan, dan masalah jantung.
Pendengaran yang bermasalah biasanya kehilangan pendengaran atau tuli yang disebabkan infeksi telinga atau kelainan tulang rawan. Sedangkan dampaknya pada pengelihatan berupa rabun dekat atau jauh, juling, maupun pergerakan bola mata yang tidak normal.
Tak menutup kemungkinan penderita down syndrome cenderung mengidap kelainan pada kondisi darah, seperti anemia atau leukemia. Mereka juga sangat berisiko terinfeksi penyakit karena sistem kekebalan tubuh yang rendah, serta berpotensi mengalami demensia mulai usia 50 tahun.
Diagnosa down syndrome
Biasanya, seseorang dapat dinyatakan oleh dokter mengidap down syndrome sejak lahir hanya dari wujud penampilannya. Namun jika masih belum yakin, diagnosis dapat dikonfirmasi melalui tes kariotipe, yakni semacam tes darah yang membariskan kromosom. Hasil dari tes ini dapat menunjukkan bila ada kromosom ekstra.
Selain itu, down syndrome juga dapat diskrining sejak dalam kandungan. Ibu hamil yang rutin melakukan USG dapat mendeteksi ada atau tidaknya gejala fisik down syndrome pada bayinya.
Tes lain yang dapat dilakukan untuk mengetahui gejala down syndrome pada janin ialah dengan Pengambilan sampel chorionic villus (CVS). Tes ini menggunakan sampel sel yang diambil dari plasenta dan dapat dilakukan selama trimester pertama.
Sedangkan pada trimester kedua, ibu hamil dapat melakukan tes Amniosentesis atau Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS). Amniosentesis membutuhkan cairan dari ketuban yang mengelilingi bayi, sedangkan PUBS menggunakan darah yang dikeluarkan tali pusar.
Perlu ditekankan bahwa down syndrome bukanlah penyakit keturunan. Hal-hal terkait apa itu down syndrome hendaknya wajib dimengerti, terutama bagi orang tua yang ingin memiliki momongan. Sebab dengan memahami pengertian, gejala, dan diagnosisnya, dapat diketahui tindakan apa saja yang harus dilakukan.
PUTRI SAFIRA PITALOKA
Baca juga : Sofia Jirau, Model Down Syndrome Pertama dalam Kampanye Victorias Secret
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.