Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kanker prostat merupakan jenis kanker dengan jumlah angka kejadian terbanyak ke-4 di dunia dan menempati urutan ke-2 kanker yang diderita oleh pria setelah kanker paru. Berdasarkan Global Cancer Statistics 2018, diperkirakan sebanyak 1,2 juta kasus baru muncul di seluruh dunia dan 359.000 kematian disebabkan kanker prostat. Kondisi ini terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kanker prostat dan kesadaran pentingnya pemeriksaan dini, terutama pada populasi risiko tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Spesialis urologi dan juga staf pengajar Divisi Urologi Departemen Bedah FKUI-RSCM, Prof. dr. Chaidir Arif Mochtar, mengatakan orang yang telah menjalani pembedahan kanker prostat bisa saja mengalami berbagai kondisi. Salah satunya inkontensia urine atau mengompol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila ini terjadi, dia menyarankan pasien meminta fisioterapis untuk mengikuti latihan otot panggul. Bagi yang ingin berolahraga, tidak ada larangan untuk ini.
"Tidak ada pembatasan kegiatan. Yang pasti, orang membatasi kegiatan pascaoperasi dia masih ngompol dan semakin berat bila melakukan olahraga. Tetapi ada juga yang merasa bila sudah pakai popok, tetap berolahraga," katanya.
Menurut konsultan dokter spesialis uro-onkologi Siloam Hospitals ASRI itu, olahraga bisa membantu pasien mengatasi mengompol karena menguatkan otot-ototnya. Pilihan olahraga yang disarankan yakni berenang dan bersepeda. Sebaliknya, dia tak menyarankan angkat beban.
Walau begitu, hal ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien stadium kankernya sebelum operasi masih dini dan tidak ada penyebaran, termasuk ke tulang, olahraga bisa dilakukan.
"Yang kami khawatirkan kalau pasien sudah stadium lanjut menyebar ke tulang, hati-hati, terutama olahraga yang bisa memberikan beban pada tulang lalu menyebabkan patah tulang," kata Chaidir.
Selain ngompol, keluhan lain yang bisa muncul setelah operasi biasanya masalah ereksi. Chaidir menyarankan pasien berkonsultasi dengan dokter mengenai hal ini. Dia mengatakan sebenarnya sebelum operasi pasien dan dokter umumnya melakukan persiapan kemungkinan komplikasi yang mungkin terjadi sehingga risiko komplikasi bisa ditekan.
Chaidir menuturkan prosedur pembedahan untuk mengangkat sel kanker dilakukan pada pasien dengan stadium kanker awal atau terlokalisir di prostat. Pembedahan ini terdiri dari beberapa modalitas, salah satunya Laparascopic Radical Prostatectomy (LRP).
Pengaplikasian teknik LRP dikatakan memberikan efek komplikasi lebih ringan jika dibandingkan dengan operasi terbuka pengangkatan prostat, durasi rawat lebih singkat, jumlah pendarahan lebih sedikit, serta risiko infeksi lebih rendah. Menurutnya, keuntungan yang didapatkan dari laparoskopi dibandingkan dengan terapi yang lain yakni tumor primernya diangkat sehingga eradikasi kanker lebih baik.
Sementara itu, pada stadium kanker lanjut atau sudah menyebar ke organ tubuh lain, penanganan yang bisa dilakukan berupa terapi hormonal dan kemoterapi. Di Indonesia, kanker prostat menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diperkirakan mencapai 25.012 orang. Sebagian besar pasien didiagnosis pada stadium lanjut karena deteksi dini kasus kanker prostat belum optimal di Indonesia.
"Padahal, pasien kanker prostat yang didiagnosis dan ditatalaksana pada stadium dini memiliki angka harapan hidup selama 10 tahun dan mencapai di atas 90 persen. Angka ini dapat turun hingga 50 persen apabila ditemukan pada stadium lanjut. Oleh karena itu, program deteksi dini yang lebih baik dan efisien perlu ditingkatkan," ujar dokter spesialis konsultan uro-onkologi Siloam Hospitals ASRI dr. Agus Rizal Ardy Hariandy Hamid.