Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi hepatitis pada semua umur di Indonesia mencapai 0,12 persen. Anggota UKK Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rachmat Ade Yudiyanto, meminta orang tua mengenali gejala awal hepatitis pada anak agar dampaknya tidak semakin kronis dan dalam jangka panjang. Ia menjelaskan gejala hepatitis pada anak tidak selalu ditandai mata kuning tapi justru dimulai dengan gejala mirip flu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Gejala awal pada hepatitis tidak serta merta mata anak langsung kuning. Kalau bicara gejala awal, khususnya untuk hepatitis yang disebabkan infeksi, yaitu A,B,C, justru gejala yang muncul seperti gejala flu, yaitu demam, mual, muntah, sehingga memang kadang orang tua melihat ini kadang missed untuk memeriksakan anaknya karena tidak diketahui," kata Ade dalam diskusi daring yang diselenggarakan IDAI, Selasa, 2 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gejala seperti flu ini mungkin berlangsung selama lima hari sebagai fase awal inkubasi virus. Di masa ini orang tua harus peka memeriksakan anak ke fasilitas kesehatan terdekat atau menemui tenaga kesehatan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Terkait gejala perubahan warna pada kulit atau mata menjadi kuning, justru menurut Ade hal itu menjadi gejala hepatitis yang mungkin dialami anak telah memasuki fase lanjutan.
Fase lanjutan hepatitis pun bisa dilihat dari perubahan warna urine maupun feses yang berbeda dari kondisi anak-anak yang sehat. Perubahan warna pada urine dan feses dalam fase lanjutan hepatitis pada pasien anak dapat terjadi karena terdapat gangguan pada saluran empedu atau dikenal juga dengan istilah medis kolestasis. Dari fase lanjutan itu, perubahan warna urine menjadi ciri pertama yang harus diwaspadai, apalagi ketika menjadi coklat pekat seperti teh, dan untuk perubahan feses warnanya menjadi pucat.
"Kalau tidak ada kuning (pada mata anak) tapi ada perubahan pada tinja dan urine ini, orang tua juga harus waspada. Tanyakan dan pastikan pada tenaga medis bahwa ini hepatitis atau bukan. Kalau dilihat warna tinjanya tidak kuning atau coklat tapi berwarna pucat ini harus dipastikan ke tenaga medis benar atau tidak anak mengalami hepatitis. Begitu juga dengan warna pipisnya, kalau warnanya seperti teh pekat itu harus diwaspadai," imbaunya.
Sirosis hati atau gagal hati
Ade menjelaskan dalam menegakkan diagnosis hepatitis, tenaga medis atau dokter akan melakukan pengecekan darah pasien dengan memeriksa enzim Serum Glutamate Pyruvate Transaminase (SGPT). SGPT normal pada orang sehat berada di rentang 7-56 unit mikro per liter. Apabila hasilnya melebihi batas tersebut dua kali lipat hingga lebih, maka besar kemungkinan pasien menderita hepatitis.
Jika hepatitis tidak ditangani sejak dini maka risiko yang mungkin dialami bisa lebih parah karena dapat menyebabkan sirosis hati atau gagal hati yang tidak dapat disembuhkan. Hepatitis dapat terjadi melalui dua jenis penyebab, yaitu infeksi atau non-infeksi. Untuk infeksi biasanya disebabkan virus, di antaranya hepatitis A, B, dan C. Sementara untuk hepatitis non-infeksi biasanya terjadi karena tubuh terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan atau terkena racun.
Penyakit ini sebenarnya dapat dicegah baik pada kelompok usia dewasa maupun anak-anak dengan menjaga pola hidup bersih dan sehat (PHBS) atau melalui vaksinasi hepatitis. Saat ini vaksinasi yang tersedia secara gratis di Indonesia untuk anak berupa vaksin hepatitis B. Sementara vaksin lain, hepatitis A tersedia namun berbayar di klinik kesehatan yang menyediakan jasa vaksin.