Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pengaruh Toxic Masculinity Terhadap Kesehatan Mental Pria

Lelaki tidak boleh menangis, satu contoh perilaku toxic masculinity dalam masyarakat patriarki. Ternyata bisa mempengaruhi kesehatan mental pria.

3 Juli 2021 | 07.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Apakah itu toxic masculinity? Dalam lingkup masyarakat konservatif yang masih menganut konstruksi patriarki, laki-laki dan perempuan diberi batasan-batasan atau standar tingkah laku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Laki-laki, sebagaimana konstruksi patriarki dikaitkan dengan perilaku agresifitas, dominasi dan kekerasan, namun tahukah Anda bahwa labeling ini disebut toxic masculinity?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Psikolog Tara de Thouars menuturkan, toxic masculinity atau maskulinitas beracun bermula dari konstruksi sosial masyarakat patriarki yang mengacu pada perilaku sikap dominan dan agresif yang diidentikkan dengan pria. Ada anggapan bahwa seorang laki-laki haruslah dominan dari perempuan, harus kuat, tidak feminin, tidak cengeng atau lemah, tidak boleh menangis dan sebagainya. Sedangkan perempuan harus menjadi manusia feminin, sabar dan rela berkorban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melansir Yayasan Pulih, dalam norma tradisional maskulin, Brannon Masculinity Scale (BMS), terdapat empat tema penting dari apa yang diinginkan, bagaimana laki-laki seharusnya, dan kesuksesaan dalam menjalankan hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan berperilaku, di antaranya:

Pertama, the big wheel, bagimana laki-laki adalah tulang punggung dan harus menanggung keluarganya, memiliki tujuan untuk dikagumi dan dihormati.

Kedua, the study oak, yaitu memiliki fisik kuat dan dapat handling rasa sakit, kuat, memiliki kepercayaan yang tinggi, tegas, atau bisa disebut “male machine”.

Ketiga, no sissy stuff, yakni menghindari hal-hal yang dianggap feminin dan menghindari terlibat dalam aktifitas yang dapat dianggap feminin, menutupi emosi dan tidak pernah menunjukkan perasaan.

Keempat, give em hell, yaitu bersifat berani, agresif, memaksa, dan mampu terlibat dalam kekerasan jika diperlukan.

Melansir The New York Times,  Penulis Emily C. A. Snyder menjelaskan bahwa istilah toxic masculinity pertama kali digunakan Psikolog Shepherd Bliss pada tahun 1980-an dan 1990-an untuk memisahkan sifat-sifat negatif dan positif maskulinitas. Ia menggunakan istilah toxic masculinity untuk menggambarkan sifat negatif.

Ciri-ciri toxic masculinity yang didefisinikan Bliss berupa penghindaran ekspresi emosional, aspirasi berlebihan untuk dominasi fisik, seksual, intelektual serta devaluasi sistematis terhadap pendapat, tubuh, dan rasa diri wanita.

Bagaimana pengaruh toxic masculinity terhadap kesehatan mental laki-laki?

Melansir Medical News Today, toxic masculinity dapat mempengaruhi mental laki-laki yang tidak memenuhi klaim “maskulin” namun tetap diharuskan (dipaksa) melakukannya. The American Psychological Assoiation mencatat, bahaya mencoba mamatuhi sifat-sifat maskulin  secara berlebihan dapat membuat pria deewasa dan anak laki-laki mengalami efek buruk dan mungkin mengalami depresi, masalah citra tubuh, fungsi sosial yang buruk, penyalahgunaan zat, dan tertekan.

Selain itu efek toxic masculinity, akibat perasaan emosional atau berbicara terbuka tentang perasaan bertentangan dengan nilai-nilai maskulinitas tradisional, ada risiko tambahan bahwa pria yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin tidak mencari perawatan profesional atau tidak berani membicarakan kepada teman maupun keluarga.

DELFI ANA HARAHAP

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus