Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Perilaku Sederhana yang Menjadi Stigma Penderita TBC

Masyarakat diminta menghindari tindakan-tindakan sederhana yang dapat memunculkan stigma negatif pada penderita TBC.

5 Juni 2024 | 20.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Laporan Global TB Report 2023 menyebutkan 1.060.000 kasus baru TBC di Indonesia, sekitar 30.000 di antaranya merupakan kasus TBC resisten obat. Pada 2023, Indonesia berhasil menemukan sekitar 821.000 kasus TBC baru atau sekitar 78 persen dari laporan Global TB Report.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Organisasi nirlaba Stop TB Partnership Indonesia pun meminta masyarakat menghindari tindakan-tindakan sederhana yang dapat memunculkan stigma negatif pada penderita tuberkulosis (TBC).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Stigma itu ditemui paling banyak, sekitar 80 persen, dari komunitas atau tetangga. Jadi, dari masyarakat sekitarnya lalu disusul dengan rumah sakit atau klinik dan juga tenaga kesehatan," kata manajer program Stop TB Partnership Indonesia, Nurliyanti, dalam webinar "Kebutuhan Kesehatan Mental dan Psikososial pada Orang dengan TBC", Rabu, 5 Juni 2024.

Nurliyanti yang juga tenaga kesehatan itu menyebut beberapa contoh tindakan sederhana yang merupakan stigma negatif kepada penderita TBC, seperti ucapan, "Jangan dekat-dekat dengan penderita TBC, awas tertular."

"Menjaga jarak dengan orang TBC harusnya melakukan proteksi, bukan dengan memberikan jarak, misal pakai masker di rumah tapi tetap berinteraksi dengan orang sekitarnya, bukan dengan memberikan jarak sosial ya dengan orang lain," tegasnya.

Menurut Nurliyanti, saat penderita TBC mulai menjauh dari orang lain, di saat itu pula stigma negatif dari dalam dirinya muncul, yang dapat menyebabkan penderita TBC memilih-milih untuk menceritakan penyakitnya dan pada akhirnya dapat menghambat deteksi penyakit tersebut. Hal yang sama juga berlaku saat ada seseorang atau kelompok yang mencoba mengganti kata TBC dengan kata lain seperti penyakit paru-paru atau paru-paru basah, seolah-olah kata TBC merupakan hal yang buruk.

"Padahal, mengganti kata TBC dengan kata lain itu sama dengan kita sedang melakukan stigmatisasi terhadap pasien tersebut karena kita mendukung menyatakan kata TBC itu adalah hal negatif," ungkapnya.

Nurliyanti mengungkapkan hal serupa juga terjadi di tempat kerja, yang menyebabkan penderita TBC harus kehilangan pekerjaan dan semakin sulit berobat untuk sembuh. Untuk itu, ia mengimbau masyarakat untuk menghindari hal-hal yang dapat memunculkan stigma negatif kepada penderita TBC agar menjadi lebih terbuka sehingga penyakitnya dapat dideteksi dan diobati sampai tuntas.

Hapus stigma negatif
Hal senada juga diungkapkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan, dr. Imran Pambudi, yang mengajak masyarakat menghilangkan stigma negatif penderita tuberkulosis agar kasus dapat ditemukan seluruhnya dan dieliminasi.

"Kita harus bisa membebaskan mereka (penderita TBC) dari self stigma, stigma dari diri sendiri dalam mencapai eliminasi TBC," ujarnya.

Selain mempersulit deteksi penderita TBC, Imran mengungkapkan stigma negatif juga menyebabkan penderitaTBC putus semangat dalam menjalani terapi yang tengah dijalani sehingga menyebabkan penyakit menjadi kebal atau resisten obat (TBC RO).

Laporan Global TB Report 2023 menyebutkan 1.060.000 kasus baru TBC di Indonesia, sekitar 30.000 di antaranya merupakan kasus TBC resisten obat. Pada 2023, Indonesia berhasil menemukan sekitar 821.000 kasus TBC baru atau sekitar 78 persen dari laporan Global TB Report.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus