Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polres Tangerang Selatan berencana melakukan pemeriksaan psikologi terhadap korban perundungan siswa Binus School Serpong di Jalan Jelupang Raya, Kecamatan Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan. Mereka juga akan nencari bukti-bukti serta saksi dalam kasus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan beredar sebuah video di berbagai macam media sosial yang menampilkan terdapat sekelompok orang tengah melakukan pem-bully-an. Hal tersebut diketahui terjadi di sebuah gang sempit tepatnya di warung yang berada tidak jauh dari sekolah Binus School Serpong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr. Helen Reiss dalam Psychology Today menjelaskan bahwa kita dilahirkan dengan rasa empati. Empati merupakan kapasitas bawaan kita untuk mengenali apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan orang lain. Empati adalah kemampuan kita untuk berjalan di posisi oleh lain, melihat dunia dari sudut pandang mereka, dan merasakan penderitaan mereka.
Empati sangat penting untuk interaksi sosial dan peluang kita mendapatkan keselamatan serta kelangsungan hidup dengan tinggal dalam komunitas. Penelitian menunjukkan, empati terwujud dalam dua cara berlawanan yang berdampak pada perilaku kita, yakni sikap peduli atau kejam. Dan ilmu otak telah mempelajari peran kunci empati dalam perilaku kasar.
Sementara penindasan merupakan kebalikannya. Itu bisa menyebabkan rasa sakit, memecah belah orang, serta mempermalukan dan menyampaikan pesan kepada target bahwa mereka bukan bagiannya. Penindasan tidak mengakui ikatan kemanusiaan kita yang penting. Sebaliknya, hal tersebut tidak manusiawi.
Para penindas dan pelaku kekerasan menggunakan empati untuk menjalin ikatan dengan komunitas, sekaligus menargetkan korban dengan kekejaman. Lantas bagaimana orang bisa menjadi "empati penindas"? Bagaimana seseorang dapat berempati sekaligus kasar?
Empati bukanlah satu sistem otak, tetapi dua
Ahli saraf Dr. Simon Baron-Cohen memberikan jawaban mengerikan terhadap perpecahan antara penindas dan empati dalam penelitian dan karyanya. Dia dan rekan-rekannya menyebut mereka yang menyakiti orang lain sebagai "Nol-Negatif" dalam spektrum empati. Mereka yang Nol-Negatif bisa mencakup individu yang didiagnosis sebagai orang yang berada di ambang batas, narsistik, dan psikopat.
Kesamaan yang dimiliki orang-orang itu dari sudut pandang ilmu saraf ialah sirkuit empati yang sangat tidak aktif. Otak mereka berperilaku tidak lazim ketika memeriksa sepuluh wilayah interaktif sirkuit empati. Saat peneliti melihat secara terpisah pada dua sistem empati dalam sirkuit tersebut, mereka yang merugikan orang lain hanya punya satu sistem empati yang utuh dan sistem empati lainnya terkikis.
Penelitian Baron-Cohen memberikan jawaban atas fakta membingungkan bahwa mereka yang melakukan intimidasi dan pelecehan tampaknya juga memiliki empati. Pelaku intimidasi atau pelaku kekerasan sadar bahwa mereka menyebabkan kerugian dan mereka termotivasi untuk menutupinya.
Ketika pelaku intimidasi atau individu yang melakukan kekerasan, termasuk perundungan dilaporkan atau dihadapkan dengan kerugian yang mereka timbulkan, mereka akan menyangkal hal itu. Mereka juga akan menyerukan kepada orang yang mereka perlakukan dengan baik dan memberikan keuntungan untuk menjamin mereka.
Dan seorang psikopat punya empati kognitif yang utuh tapi empati efektifnya berkurang. Dengan kata lain, seorang psikopat yang berbohong, menganiaya, merugikan orang lain dengan berbagai cara, dan tidak memperdulikannya sama sekali, memiliki otak dengan empati afektif yang terkikis. Empati afektif sendiri adalah bagaimana kita merasakan penderitaan orang lain. Kita bisa melihat kepedihan mereka, mendengarnya, dan benar-benar mengalaminya.
Jika Anda melihat seseorang memotong tangannya, kemungkinan besar Anda akan bereaksi secara fisik, baik mundur atau meringis. Namun psikopat tidak merasakan sakit orang lain. Karena mereka kekurangan empati afektif. Tetapi mereka masih mempunyai akses terhadap empati kognitif. Ini memberi mereka keunggulan karena dapat membaca orang lain.
Dengan cara yang dingin dan penuh perhitungan, mereka bisa berpikir dengan sangat cerdik tentang apa yang dipikirkan seseorang, emosi yang mereka miliki, dan niat apa yang mereka rencanakan. Psikopat, tanpa reaksi afektif seperti penyesalan, rasa bersalah, dan kesedihan, menggunakan wawasan kognitif mereka untuk menciptakan pengikut serta menghancurkan target.
Di akhir bukunya The Science of Evil, Baron-Cohen menegaskan empati adalah sumber daya paling berharga di dunia. Hilangnya empati memang rumit, tapi lingkungan memainkan peran sangat besar. Maka mengetahui betapa pentingnya kedua sistem empati kita (afektif dan kognitif) bagi semua individu, komunitas, dan dunia membuat kita menyadari betapa kita perlu berinvestasi di dalamnya.
Karena otak yang memanfaatkan empati terhadap kekejaman merupakan sumber hal yang berlawanan dengan intuisi. Faktanya, kita biasanya menganggap seseorang yang berempati sama sekali tidak mampu menindas orang lain. Kita berpikir empati seharusnya menghentikan kita dari penindasan. Namun hal tersebut juga dapat memfasilitasi penganiayaan.
PUSPITA AMANDA SARI | M. IQBAL
Pilihan editor: Riwayat Geng GT Pelaku Bullying di SMA Binus Serpong Sudah 9 Generasi dan Bermarkas di Warung